Unduh
0 / 0
336721/01/2015

Menolak Shalat Id Dibelakang Orang Yang Berbeda Dalam Bilangan Takbir Tambahan

Pertanyaan: 224032

Apakah takbir shalat id itu 6 atau 12? Karena disana ada perbedaan besar diantara teman-teman Hanafiyah seputar masalah ini. Dimana kelompok Salafi mengatakan ‘Mereka tidak akan shalat dengan orang-orang Hanafi kecuali kalau mereka siap menunaikan takbir shalat id 12 takbir dalam dua rakaat. Mereka sepertinya tidak siap dengan masalah ini, oleh karena itu shalai id ditunaikan dua kali di tempat yang sama dengan waktu yang berbeda. Apa pendapat syareat? Apakah memungkinkan mencari solusi tengah-tengah dimana menunaikan shalat sekali dengan mazhab Hanafi dan lain waktu maksudnya id kedua dengan cara orang salafi?

Ringkasan Jawaban

Kesimpulannya bahwa perbedaan dalam bilangan takbir tambahan dalam shalat dua hari raya tidak diperbolehkan memecah umat Islam. Dengan menunaikan shalat yang lain. Karena shalat id dua kali, setiap kelompok shalat sendiri-sendiri merupakan bid’ah yang diingkari. Di dalamnya memecah belah barisan umat Islam. Yang sangat jelas bagi orang berakal, dan tidak mungkin ada dalam syareat. Atau sunah menunjukkan semacam itu. Maka tidak boleh dikatakan, kita shalat sekali dengan cara orang salafi, dan sekali waktu dengan cara orang Hanafi. Bahkan semuanya diperintahkan dengan satu cara yaitu caranya Nabi sallallahu alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Yaitu cara yang dilakukan oleh para Imam Islam seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’I, Ahmad dan lainnya. Selagi para shahabat dan para ulama berbeda pendapat yang diperbolehkan, hendaknya melapangkan dada untuk perbedaan ini. Kita memohon kepada Allah ta’ala agar disatukan umat Islam dalam kebenaran dan menyatukan hati-hati mereka. Wallahu a’lam .

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Pertama:

Permasalahan ini
termasuk masalah ijtihadiyah dimana para shahabat, tabiin dan para
imam berbeda lebih dari sepuluh pendapat.

Telah ada dalam
‘Mausu’ah Fiqhiyah, (13/209), “Malikiyah dan Hanabilah mengatakan,
“Bahwa shalat dua id ada enam takbir di pertama dan lima di kedua.
Hal itu diriwayatkan para ulama tujuh fikih Madinah, Umar bin Abdul
Aziz, Zuhri dan Muzani. Nampaknya mereka menghitung takbiratul ihrom
ketujuh dalam rakaat pertama. Sebagaimana mereka menghitung takbir
ketika berdiri tambahan dari lima yang diriwayatkan dalam rakaat
kedua.

Sementara Hanafiyah
dan Ahmad dalam riwayat berpendapat bahwa shalat dua hari raya ada
enam takbir tambahan tiga pertama dan tiga di kedua. Dan ini
pendapat Ibnu Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ary, Huzaifah bin Yaman, Uqbah
bin ‘Amir, Ibnu Zubair, Abu Mas’ud Al-Badri, Hasan Basri, Muhamad
bin Sirin, Tsauri dan para ulama Kufah dan ini riwayat dari Ibnu
Abbas.

Syafiiyyah mengatakan
bahwa takbir tambahan itu tujuh di pertama dan lima di kedua. ‘Aini
menyebutkan ada 19 pendapat dalam bilangan takbir tambahan. Selesai

Syaukani rahimahullah
mengatakan, “Para ulama berbeda pendapat tentang bilangan takbri
dalam shalat id dalam dua rakaat. Dan tempat takbir menjadi 10
pendapat. Salah satunya adalah bertakbir di pertama tujuh kali
sebelum bacaan dan di kedua lima kali sebelum bacaan.

Iroqi mengatakan, ini
pendapat kebanyakan ahli ilmu dari kalangan para shahabat, tabiin
dan para imam.

Pendapat kedua,
bahkwa takbiratul ihram terhitung dari tujuh pada rakaat pertama dan
ini pendapat Malik, Ahmad dan muzani.

Pendapat ketiga,
bahwa takbir pertama tujuh dan kedua tujuh. Diriwayatkan hal itu
dari Anas bin Malik, Mugiroh bin Syu’bah, Ibnu Abbas, Said bin
Musayib dan Nakho’i.

Pendapat keempat, di
rakaat pertama tiga setelah takbiratul ihram sebelum bacaan dan
kedua tiga setelah bacaan, ini diriwayatkan dari sekelompok para
shahabat Ibnu Mas’ud, Abu Musa, Abu Mas’ud Al-Ansori dan ini
pendapat Tsauri dan Abu Hanifah. Dan seterusnya.” Selesai dari
‘Nailul Author, (3/355).

Yang paling shoheh
apa yang ada dalam sunah adalah Hadits Aisyah radhiallahu anha:

” أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ يُكَبِّرُ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى، فِي الْأُولَى
سَبْعَ تَكْبِيرَاتٍ ، وَفِي الثَّانِيَةِ خَمْسًا ” رواه أبو داود
(1149) ، وصححه الألباني في “صحيح أبي داود” . وهو قول أكثر أهل العلم
.

“Sesungguhnya
Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam biasanya bertakbir dalam idul
fitri dan idul adha, rakaat pertama tujuh takbir dan rakaat kedua
lima (takbir).” HR. Abu Dawud, 1149 dinyatakan shoheh oleh Albani di
Shoheh Abi Dawud. Dan ini pendapat mayoritas ahli ilmu.

Ibnu Abdul Bar
rahimahullah mengatakan, “Diriwayatkan dari Nabi sallallahu aliahi
wa sallam bahwa beliau takbir dalam dua hari raya tujuh di pertama
dan lima di kedua. Dari jalan yang banyak dan bagus. Sementara para
shahabat radhiallahu anhum mereka berbeda pendapat banyak sekali di
takbir dalam dua hari raya. Begitu juga para tabiin berbeda akan hal
itu.” Selesai dari ‘Tamhid, (16/37-39). Silahkan melihat jawaban
soal no. 36491.

Kedua:

Perbedaan dalam
permasalahan seperti ini itu adalah perbedaan yang marak, dimana
tidak boleh mengingkari terhadap orang yang berbeda (dengannya).
Bagaimana mengingkarinya, padahal ada periwayatannya dari para
shahabat radhiallahu anhum, mereka para imam ijtihad dan ahlus
sunnah dan ittiba’?

Oleh karena itu Imam
Ahmad rahimahullah berpendapat diperbolehkan semua yang ada dari
para shahabat radhiallahu anhum dalam takbir tambahan di shalat id.
Seraya mengatakan, “Para shahabat Rasulullah sallallahu alaihi wa
sallam berbeda dalam takbir. Dan semuanya diperbolehkan.” Selesai
dari ‘Al-Furu’, (3/201).

Syekh Muhammad bin
Utsaimin rahimahullah mengatakan setelah menyebutkan bahwa beliau
bertakbir pada rakaat pertama tujuh kali dan ke dua lima kali, “Akan
tetapi kalau sekiranya ada orang berbeda sehingga menjadikan lima (takbir)
di pertama dan kedua, atau tujuh di pertama dan kedua. Sesuai apa
yang ada dari para shahabat. Maka Imam Ahmad telah mengatakan, “Para
shahabat Nabi sallallahu alaihi wa sallam berbeda dalam takbir. Dan
semuanya itu diperbolehkan. Maksudnya Imam Ahmad berpendapat bahwa
masalah ini luas. Seseorang kalau takbir selain dari cara ini yang
ada dari para shahabat, itu tidak mengapa.

Ini termasuk
keseriusan dalam mazhab Imam Ahmad sendiri, beliau melihat bahwa
para ulama salaf ketika berbeda dalam sesuatu dan di sana tidak ada
nash penentu yang pasti. Maka semuanya itu diperbolehkan. Karena
termasuk mengagungkan dan menghormati perkataan para shahabat.
Seraya mengatakan, “Kalau disana tidak ada nash penentu yang
melarang salah satu pendapat, maka masalah ini luas.

Tidak diragukan lagi,
bahwa apa yang dilakukan oleh Imam Ahmad itu terbaik untuk
menggabungkan umat dan menyatukan kalimatnya. Karena diantara orang
ada yang menjadikan perbedaan pendapat dimana masih ada ruang
ijtihad, sebagai sebab adanya perpecahan dan pertikaian. Sampai ada
yang menfonis sesat kepada saudaranya padahal bisa jadi dia sendiri
yang sesat.

Ini cobaan yang marak
pada zaman sekarang. Meskipun pada zaman sekarang ada optimis yang
baik adanya kebangkitan khususnya para pemuda. Terkadang hal ini
dapat merusak kebangkitan. Kembali ke pertikaian mendalam disebabkan
perbedaan ini. Masing-masing diantara mereka ketika saudaranya
berbeda dalam masalah ijitihadiyah, dimana tidak ada nash penentu.
Pergi menghindar, mencela dan membicarakannya. Ini adalah ujian,
yang gembira dengan kondisi ini adalah musuh kebangkitan ini. Kalau
masalahnya masih menerima ijtihad, hendaknya salah seorang diantara
kita memaklumi dari apa yang diijtihadi. Tidak mengapa adanya
diskusi ringan diantara teman-teman. Maka saya katakan, “Terima
kasih kepada Imam Ahmad dengan metode terbagus ini. Bahwa salah
ketika berbeda pada sesuatu, dan disana tidak ada nash pemutus. Maka
masalahnya luas semuanya diperbolehkan.” Selesai dari Syarkh mumti’,
(5/135-138).

Dari sini jelas,
tidak mengapa orang melakukan apa yang ada dari para shahabat
radhiallahu anhum. Meskpin yang terbaik adalah bertakbir pada rakaat
pertama tujuh dan kedua lima.

Ketiga:

Seharusnya berusaha
untuk menyatukan dan menggabungkan hati. Itu termasuk salah satu
prinsip dalam agama. Maka tidak boleh meruntuhkan prinsip ini
disebabkan sunah yang dianjurkan dari sunah yang ada dimana tidak
mengapa dan tidak berdosa meninggalkannya.

Ya, tidak mengapa
melakukan diskusi ringan untuk sampai ke pendapat terkuat dan lebih
dekat ke sunah. Akan tetapi ketika tidak sampai mencapi kesepakatan.
Dimana masing-masing kelompok melihat dia yang paling dekat dengan
sunah, dan mencontoh pendapat ini dari kalangan para shahabat,
tabiin dan para imam. Maka seharusnya waktu itu umat Islam di kota
bersatu terhadap satu imam, dalam satu shalat dan tidak berpecah
belah. Karena perpecahan itu dari syetan dan musuh-musuh akan senang.
Telah ada dalam fatwa no. 12585 bahwa imam
ketika melakukan perbuatan dalam shalat dimana makmum melihat tidak
dianjurkan (melakukan itu), maka seharusnya makmum mengikuti imamnya.
Selagi masalah itu masih dalam koridor masalah ijtihadiyah. Apa yang
akan mereka lakukan kalau sekiranya mereka shalat di belakang para
shahabat nan mulia. Seperti Abdullah bin Mas’ud atau Abu Musa Al-Asy’ari
atau Abu Mas’ud Al-Badri. Dimana mereka bertakbir tiga kali di
rakaat pertama dan tiga kali di rakaat kedua. Apakah mereka akan
meninggalkan shalat di belakang para Imam yang alim. Mereka adalah
para imam umat, paling hebat ilmunya dan paling bersih hatinya?

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

answer

Tema-tema Terkait

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android