Apakah membaca surat Al-Fatihah dalam shalat jahriah (yang dikeraskan bacaannya) adalah wajib bagi makmum? Aku dulu selalu membacanya, lalu ada seorang guru yang mengingatkan aku bahwa hal itu tidak wajib dibaca seraya merujuk ucapan syekh Al-Albany yang berpendapat bahwa hal itu awalnya diwajibkan lalu dihapus.
Mohon penjelasan masalah ini dengan dalil dan mengaitkannya dengan pendapat Al-Albany karena saya akan sampaikan kepada ustaz tersebut.
Apakah Membaca Al-Fatihah Bagi Makmum Dalam Shalat Yang Bacaannya Dikeraskan Awalnya Diwajibkan Lalu Dihapus?
Pertanyaan: 231217
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Pertama:
Sudah kami sebutkan perbedaan pendapat para ulama dalam masalah ini, dan beberapa dalil yang dijadikan patokan oleh mereka dan bahwa pendapat yang lebih kuat adalah wajibnya membaca surat Al-Fatihah bagi makmum dalam shalat jahriah. Yaitu dalam fatwa no. 10995 dan 26746
Kedua:
Adapun Syekh Al-Albany rahimahullah, beliau berpendapat bahwa membaca di belakang imam telah dihapus. Beliau berdalil dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud, no. 826, dan Tirmizi, no. 312, Ahmad, no. 7270, Ibnu Hibban, no. 1851, dari Abu Hurairah,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْصَرَفَ مِنْ صَلَاةٍ جَهَرَ فِيهَا بِالْقِرَاءَةِ فَقَالَ: ( هَلْ قَرَأَ مَعِيَ أَحَدٌ مِنْكُمْ آنِفًا؟ ) ، فَقَالَ رَجُلٌ : نَعَمْ ، يَا رَسُولَ اللَّهِ ، قَالَ: ( إِنِّي أَقُولُ مَالِي أُنَازَعُ الْقُرْآنَ؟ ) ، قَالَ: فَانْتَهَى النَّاسُ عَنِ الْقِرَاءَةِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا جَهَرَ فِيهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْقِرَاءَةِ مِنَ الصَّلَوَاتِ حِينَ سَمِعُوا ذَلِكَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam setelah selesai melakukan shalat jahriah, yang di dalamnya mengeraskan bacaan, beliau berkata, ‘Apakah ada seseorang di antara kalian yang membaca (Al-Fatihah) barusan?’ Lalu seorang laki-laki berkata, ‘Ya wahai Rasulullah.’ Beliau berkata, ‘Sungguh aku berkata, jangan?’ Sejak saat itu orang-orang berhenti membaca Al-Quran bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada shalat-shalat yang Nabi shallallahu alaihi wa sallam keraskan bacaannya, setelah mereka mendengarkan hal itu dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.”
Hanya saja, para ulama menjelaskan bahwa ucapan dalam ucapan ‘Orang-orang tidak lagi membacanya…’ bukanlah ucapan Abu Hurairah radhiallahu anhu, akan tetapi ucapan Ibnu Syihab Az-Zuhri rahimahullah. Maka ketika itu riwayat ini tidak dapat dijadikan hujjah.
Abu Daud setelah meriwayatkan hal ini berkata, “Aku mendengar Muhamad bin Yahya bin Faris , dia berkata, ‘Ucapan ‘orang-orang tidak lagi membacanya..’adalah ucapan Az-Zuhri.”
Tirmizi pun mengatakan demikian, “Sebagian dari murid-murid Az-Zuhri meriwayatkan hadits ini, lalu mereka ingatkan kekeliruan itu (bahwa itu ucapan Abu Hurairah), dengan berkata, ‘Az-Zuhri berkata, ‘Orang-orang lalu berhenti membacanya ketika mendengar hal itu dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.”
Baihaq berkata dalam As-Sunan (2/226), ‘Al-Auzai mengetahui bahwa ucapan ini berasal dari ucapan Az-Zuhri, maka dia memisahkannya dari hadits.”
Ibnu Abdul Barr rahimahullah berkata, ‘Adapun ucapannya dalam hadits, ‘Orang-orang berhenti membaca’ hingga akhir hadits, mayoritas perawi Ibnu Syihab yang meriwayatkan hadits ini menganggapnya sebagai ucapan Ibnu Syihab,” (Al-Istizkar, 1/464)
Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Ucapannya, ‘Orang-orang berhenti…’ hingga seterusnya, adalah kata-kata yang disisipkan dalam riwayat tersebut dan berasal dari perkataan Az-Zuhi. Hal ini dijelaskan oleh Al-Khatib, lalu disepakati oleh Bukhari, dalam At-Tarikh, dan Abu Daud, Ya’kub bin Sufyan, Az-Zahly, Al-Khataby dan lainnya.”
(At-Talkhis Al-Habir, 1/565)
Ibnu Mulaqin rahimahullah berkata, “Perkataan ‘Orang-orang berhenti…” dst, adalah ucapan Az-Zuhri, bukan riwayat marfu (sampai kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam). Hal ini dinyatakan oleh Bukhari, Az-Zahabi, Ibnu Faris, Abu Daud, Ibnu Hibban dan Al-Khatabi serta selainnya.” (Mirqatul Mafatih, 2/701)
Yang menunjukkan bahwa ucapan ini bukanlah ucapan Abu Hurairah radhiallahu anhu, adalah bahwa beliau justeru memerintahkan makmum untuk membaca surat Al-Fatihah di belakang imam.
Al-Baihaqi dalam ‘Ma’rifah, (3/77) berkata, “Bagaimana dikatakan bahwa Abu Hurairah mengatakan demikian, sementara Abu Hurairah lah yang memerintahkan makmum membaca (Al-Fatihah) di belakang imam, baik dalam shalat jahriah atau shalat sirriyah?”
An-Nasai telah meriwayatkan dalam kitab Al-Kubra (2895) tentang hadits Abu Hurairah ini dan melemahkan seraya mengatakan, “Keshahihan hadits dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam perlu dikritisi lagi, hal itu karena riwayat Ibnu Ukaimah Al-Laitsi, adalah perawi majhul (tak dikenal), dia tidak menyampaikan hadits kecuali hadits ini dan tidak ada yang menyampaikan hadits ini kecual Az-Zuhri. Az-Zuhri sendiri tidak mengenalnya selain bahwa dia pernah menerima hadits Said bin Musayib. Al-Humaidi berkata tentang hadits Ibnu Ukaimah, ‘Ini adalah hadits yang diriwayatkan seseorang yang majhul, tidak diriwayatkan darinya kecual hadits ini saja.
An-Nasai berkata dalam hadits yang valid, dari Alaa bin Abdurrahman, dari Abu Saib, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu alaih wa sallam,
مَنْ صَلَّى صَلَاةً لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فَهِيَ خِدَاجٌ
“Siapa yang shalat, lalu didalamnya dia tidak membaca Ummul Quran (surat Al-Fatihah), maka shalatnya sia-sia.”
Aku berkata, ‘Wahai Abu Hurairah, saya kadang-kadang berada di belakang Imam’ Beliau berkata seraya menggerak-gerakkan selendangku, “Wahai orang Persia (Salman), bacalah (Al-Fatihah) secara perlahan.”
Abu Hurairah perawi kedua hadits tersebut, dan ini menjadi dalil lemahnya riwayat Ibnu Ukaimah, atau dia bermaksud dalam hadits Ibnu Ukaimah adalah larangan mengeraskan bacaan di belakang imam, atau larangan membaca surat dalam shalat-shalat yang dikeraskan bacaannya.”
Kesimpulannya, pendapat yang shahih adalah bahwa ucapan tersebut merupakan sisipan dari perkataan Az-Zuhri, bukan perkataan Abu Hurairah radhiallahu anhu.
Seandainyapun pernyataan tersebut benar berasal dari Abu Hurairah, maka yang dimaksud adalah larangan mengeraskan suara di belakang imam, atau larangan membaca surat setelah surat Al-Fatihah atau semacamnya.
Adapun larangan membaca Al-Fatihah, atau berpendapat bahwa hal tersebut telah terhapus, sebagaimana pendapat Syekh Al-Albani rahimahullah, dalam Sifat Ash-Shalat, hal. 97, telah dijelaskan masalahnya dan bahwa landasan yang dijadikan dalil tidak shahih.
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Adapun hadits Abu Hurairah yang juga terdapat dalam kitab sunan, di dalamnya dia berkata, “Maka orang-orang berhenti membaca pada shalat yang dikeraskan Nabi shallallahu alaihi wa sallam.” Yang dimaksud bacaan yang dihentikan orang-orang adalah bacaan selain surat Al-Fatihah, karena tidak mungkin mereka berhenti membaca surat yang Rasulullah shallallahu alaihi wa asllam berkata tentangnya, “Jangan kalian lakukan (jangan membaca) kecuali Ummul Quran (Al-Fatihah), karena tidak ada shalat tanpa membacanya.”
Karena itu yang benar adalah pendapat yang mengatakan bahwa hal itu mansukh (sudah terhapus), maksudnya bahwa membaca Al-Fatihah di belakang Imam pada shalat yang dijaharkan adalah mansukh, adalah pendapat yang tidak benar, karena tidak mungkin dianggap mansukh jika masih ada kemungkinan kompromi. Dan sebagaimana telah diketahui, jika (kedua di antara nash yang terkesan bertentangan) masih dapat dikompromikan dengan cara pengkhususan, maka metode naskh (penghapusan) tidak diberlakukan.
(Majmu Fatawa Wa Rasa’il Al-Utsaimin, 13/131)
Maka, sesungguhnya berdalil dengan hadits ini untuk menunjukkan bahwa ketentuan makmum membaca Al-Fatihah di belakang imam telah mansukh (telah dihapus), tidaklah kuat dan tepat. Karena ucapan tersebut tidak kuat sebagai ucapan Abu Hurairah, tetapi ucapan Az-Zuhri.
Sekalipun ucapan itu dianggap sebagai ucapan Abu Hurairah, maka yang dimaksud bahwa orang-orang berhenti membaca Al-Fatihah (di belakang imam) adalah bacaan selain Al-Fatihah, sehingga dengan demikian, dalil-dalil yang ada dapat dikompromikan dalam masalah ini.
Hendaknya diperhatikan juga, bahwa masalah ini termasuk masalah ijtihad. Siapa yang mampu menilai dalil-dalil dan menguatkan salah satu pendapat, maka hendaknya dia mengambil pendapat yang menurut dia lebih kuat. Siapa yang tidak mampu dalam hal tersebut, hendaknya dia bertaklid dengan ulama yang dia percaya agama dan ilmunya. Dan tidak boleh dalam masalah khilafiah ini dijadikan sarana untuk memojokkan para ulama atau debat kusir yang menyebabkan lahirnya fanatisme, perpecahan dan sakit hati.
Wallahu a’lam .
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam
Tema-tema Terkait