Kejadian ini dialami oleh istri dari pamanku, ia telah membayar sejumlah uang untuk melaksanakan ibadah umrah atau haji, lalu suaminya meninggal dunia sebelum ia pergi untuk melaksanakan manasik haji, apakah diwajibkan baginya untuk mengembalikan uangnya jika memungkinkan ?, jika tidak memungkinkan untuk menarik uangnya maka apa yang harus ia lakukan ?, seperti yang diketahui bahwa uang yang telah dibayarkan akan lepas darinya, dan demikian juga hukumnya seorang wanita yang suaminya meninggal dunia dan telah membayar uang untuk umrah atau haji, namun ia tidak mengetahui bahwa seorang wanita yang berada dalam masa iddah tidak boleh keluar rumah, mohon disertai dalil juga.
Seorang Wanita Telah Membayar Biaya Ibadah Haji, Lalu Suaminya Meninggal Dunia, Maka Apa Yang Harus Dilakukan ?
Pertanyaan: 246662
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Pertama:
Diwajibkan bagi wanita yang berada di dalam masa iddah hendaknya tetap berada di rumah di mana ia tinggal sebelum suaminya meninggal dunia selama masa ihdad.
Dari Zainab binti Ka’ab bin ‘Ajrah:
“Bahwa Furai’ah binti Malik bin Sinan –ia adalah saudarinya Abu Sa’id Al Khudri telah mengabarkan kepadanya: “Bahwa ia telah menghadap Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- untuk bertanya kepada beliau bahwa ia akan kembali kepada keluarganya di Bani Khudrah, sungguh suaminya telah keluar darinya untuk mencari para hamba yang ada bersamanya sampai hampir mereka tiba, ia menyusul mereka dan mereka pun membunuhnya, maka saya bertanya kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-: “Apakah saya kembali ke keluarga saya; karena saya tidak ditinggalkan sebuah rumah miliknya juga tidak ada nafkah ?”, maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Ya”, ia berkata: “Maka saya keluar sampai saya berada di kamar, atau di masjid, beliau memanggilku atau menyuruhku dan saya dipanggil untuk menghadap beliau, maka beliau bersabda: “Apa yang anda katakan ?”, maka saya pun mengulai lagi cerita yang saya sebutkan terkait dengan kondisi suami saya, beliau bersabda: “Berdiamlah di rumahmu sampai masa iddahmu selesai”, ia berkata: “Maka saya menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari”, ia berkata: “Pada saat Utsman bin Affan telah mengutus seseorang kepadaku terkait masalah ini, maka saya mengabarkannya dan beliau pun mengikutinya, dan beliau memutuskan dengan hal itu”. (HR. Abu Daud: 2300 dan Tirmidzi: 1204 dan ia berkata: “Ini adalah hadits hasan shahih”, kemudian ia berkata: “Mengamalkan hadits ini menurut kebanyakan ulama dari para sahabat Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan yang lainnya: “Mereka tidak berpendapat bagi wanita yang sedang beriddah untuk berpindah dari rumah suaminya sampai masa iddahnya selesai, inilah pendapat Sufyan ats Tsauri, Imam Syafi’i, Ahmad dan Ishak).
Sebagian ulama dari para sahabat Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan yang lainnya berkata:
“Seorang wanita menjalani masa iddah sesuai dengan keinginannya, jika ia tidak mau menjalani masa iddah di rumah suaminya. Dan pendapat pertamalah yang benar”.
Ibnu Abdil Bar –rahimahullah- berkata:
“Hadits Sa’d bin Ishak ini –hadits Al Furai’ah- terkenal di kalangan para ahli fikih di Hijaz, Irak dan diamalkan oleh mereka, mereka menerimanya dan berfatwa dengannya, Imam Syafi’i, Imam Malik, Abu Hanifah, dan pengikut mereka, At Tsauri, Al Auza’i, Al Laits bin Sa’d, Ahmad bin Hanbal, semua mereka berkata: “Wanita yang suaminya meninggal dunia ia menjalani masa iddah di rumah di mana ia tinggal, baik rumahnya sendiri atau rumah suaminya, tidak bermalam kecuali di rumah tersebut sampai selesai masa iddahnya, ia masih boleh keluar pada siang hari untuk memenuhi kebutuhannya. Inilah pendapat Umar, Utsaman, Ibnu Mas’ud, Ummu Salamah, Zaid bin Tsabit, dan Ibnu Umar.
Dalam masalah ini ada dua pendapat, yang telah diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Aisyah, Jabir bin Abdullah bahwa mereka berkata: “Wanita yang suaminya meninggal dunia menjalani masa iddahnnya sesuai dengan keinginannya, tidak ada kewajiban tinggal di rumahnya selama hari-hari masa iddahnya”.
Pendapat global dari masalah ini bahwa ada dua pendapat menurut salaf dan kholaf, salah satu dari keduanya terdapat sunnah yang tetap dan itulah yang menjadi hujjah (bukti) saat terjadi sengketa, dan bukan hujjah bagi yang berbeda dengannya.
Pendapat orang yang mempermasalahkan sanadnya hadits terkait hal itu tidak perlu dihiraukan; karena hadits tersebut shahih, telah diriwayatkan oleh orang-orang terkenal, para imam telah memutuskan dengan hadits tersebut, mereka mengamalkan hukumnya, sekelompok ulama fikih telah mengikuti mereka dari Hijaz, Irak, dan mereka telah berfatwa dengannya, mereka menerimanya karena hadits tersebut shahih menurut mereka”. (Al Istidkar: 18/181-185)
Kedua:
Apakah haji itu adalah alasan yang syar’i bagi wanita yang sedang menjalani iddah karena suaminya meninggal dunia untuk tinggal di rumahnya ?
Jumhur ulama berpendapat wanita yang beriddah karena suaminya meninggal dunia tidak boleh melaksanakan ibadah haji.
Abu Bakar Ibnul Mundzir –rahimahullah- berkata:
“Mereka berbeda pendapat terkait dengan perjalanan wanita beriddah untuk melaksanakan haji dan umrah.
Umar bin Khattab telah melarang hal itu, hal itu telah diriwayatkan oleh Utsman bin Affan.
Yang juga berpendapat demikian adalah Ibnul Musayyib, Al Qasim bin Muhammad, Imam Syafi’i, dan para pemikir, Abu Ubaid, dikisahkan Abu Ubaid dari At Tsauri.
Malik berkata: “Wanita tersebut dikembalikan (ke daerahnya) jika ia belum memulai ihramnya…”.
Abu Bakar berkata: “Berpendapat dengan pendapat pertama”. (Al Isyraf: 5/342)
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- pernah ditanya:
“Tentang seorang wanita yang berazam untuk melaksanakan haji bersama suaminya, lalu suaminya meninggal dunia pada bulan Sya’ban, apakah ia boleh melaksanakan haji ?”
Beliau menjawab:
“Ia tidak boleh melaksanakan safar ibadah haji selama masa iddah karena wafatnya suaminya sesuai dengan madzhab yang empat”. (Majmu’ Fatawa: 29/34)
Hujjah mereka adalah hadits Furai’ah di atas, akan wajibnya berdiam di dalam rumahnya, kewajiban ini berbatas dengan waktu dan berlalu dengan berlalunya waktu tersebut, adapun haji maka bisa disusulkan pada waktu yang akan datang, ada sebuah kaidah saat banyaknya kewajiban: hendaknya mendahulukan apa yang tidak mungkin diulur waktunya dari pada apa yang bisa diulur.
Al Qarafi berkata:
“Sebuah kaidah: “Jika banyak kewajiban (yang harus dikerjakan), maka didahulukan yang waktunya sempit dari pada yang waktunya luas, di dahulukan yang langsung dari pada yang lentur, didahulukan yang fardhu ‘ain dari pada yang fardhu kifayah; karena yang waktunya sempit menuntut perhatian syari’at terhadapnya, demikian juga larangan untuk menundanya, berbeda dengan yang boleh ditunda”. (Adz Dzakhirah: 3/183)
Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata:
“Kalau bagi wanita tersebut adalah haji Islam (haji pertama) lalu suaminya meninggal dunia, ia wajib menjalani iddah di rumahnya, meskipun tertinggal ibadah haji, karena masa iddah di rumah berlalu dan tidak ada gantinya, sementara haji bisa dilakukan tidak pada tahun ini”. (Al Mughni: 11/305)
Hal ini dikuatkan apa yang diriwayatkan dari salah satu khulafa rasyidin Umar bin Khattab –radhiyallahu ‘anhu-, dari Sa’id bin Musayyib:
" أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ ، كَانَ يَرُدُّ الْمُتَوَفَّى عَنْهُنَّ أَزْوَاجُهُنَّ مِنَ الْبَيْدَاءِ ، يَمْنَعُهُنَّ الْحَجَّ " رواه الإمام مالك في " الموطأ " (2194) .
Bahwa Umar bin Khtattab dahulu mengembalikan para wanita yang suaminya meninggal dunia dari Baida’, dan melarang mereka untuk melaksanakan ibadah haji”. (HR. Malik di dalam Al Muwatha’: 2194)
Albani –rahimahullah- berkata:
“Hadits ini para perawinya bisa dipercaya berbeda dengan pendengaran Sa’id dari Umar”. (Irwa’ul Ghalil: 7/208)
Dan Sa’id bin Musayyib jika dianggap beliau tidak mendengar dari Umar terkait dengan hukum tersebut, maka para pembesar ulama hadits mereka menerima periwayatan dari Umar –radhiyallahu ‘anhu- karena hal itu menambah perhatian dalam masalah Umar dan hukum-hukumnya”.
Al Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata:
“Abu Thalib berkata: Saya berkata kepada Ahmad: “Sa’id bin Musayyib ?, ia berkata dan siapa orang yang serupa dengan Sa’id ?, terpercaya dan termasuk orang baik, maka saya berkata kepadanya: “Sa’id dari Umar adalah hujjah”.
Ia berkata: “Hal itu menurut kami sebagai hujjah, Umar telah berpendapat demikian dan telah mendengar darinya dan jika Sa’id tidak menerima dari Umar maka siapa yang menerima ?”.
Al Laits dari Yahya bin Sa’id berkata:
“Bahwa Ibnu Musayyib menamakan riwayat Umar, beliau adalah orang yang paling hafal dengan hukum-hukum keputusannya.
Malik berkata: “Telah sampai kepada saya bahwa Abdullah bin Umar telah mengutus orang kepada Ibnu Musayyib ia bertanya tentang keadaan dan perintahnya”. (Tahdzib at Tahdzib: 4/85-86)
Penerimaan riwayatnya menjadi kuat juga: “Jika apa yang diriwayatkannya ada riwayat asal yang menguatkannya”.
Imam Syafi’i –rahimahullah- berkata:
“Ia berkata: Bagaimana kalian menerima dari Ibnu Musayyib riwayat yang munqathi’ (terputus) dan tidak menerima dari selainnya ?, kami berkata: “Kami tidak menghafal riwayat dari Ibnu Musayyib yang munqathi’, kecuali kami telah dapatkan apa yang menunjukkan kelengkapannya, dan tidak ada dampaknya kepada seseorang dalam hal yang kami ketahuinya, kecuali ia terpercaya dan dikenal, barang siapa yang seperti kondisinya maka kami menerima hadits munqathi’nya”. (Al Umm: 4/390)
Al Baihaqi –rahimahullah- berkata:
“Adapun yang telah disebutkan oleh Imam Syafi’i –rahimahullah- di dalam mursalnya Ibnu Musayyib, maka demikian juga orang selainnya dari ulama hadits berkata: “Beberapa kisah dari generasi salaf tentang keutamaan Ibnu Musayyib menurut mereka sebagai generasi zamannya adalah banyak, dan menurut Imam Syafi’i –rahimahullah- sesuai dengan ucapan beliau tentang marasiil Ibnu Musayyib, sebagai teladan, kemudian ia tidak hanya sebagai klaim di dalam marasilnya, sampai menjelaskan sisi lebih kuatnya di dalam marasilnya”. (Ma’rifatus Sunan wa al Atsar: 8/235-236)
Atsarnya yang dari Umar ini mempunyai sunnah yang menguatkannya, yaitu hadits Furai’ah binti Malik yang telah disebutkan di atas.
Ketiga:
Dari penjelasan sebelumnya menjadi jelas:
Bahwa wanita yang menjalani masa iddah karena suaminya meninggal dunia, jika ia mampu mengembalikan dana hajinya, tanpa membahayakan dirinya, maka ia tidak perlu keluar dari rumahnya untuk berhaji.
Adapun jika ia tidak bisa mengembalikan dana hajinya, dan termasuk dana yang banyak, berat bagi orang yang serupa dengannya meninggalkannya, maka hal itu termasuk bagian dari hajah (kebutuan) yang signifikan yang menjadikannya keluar untuk mendapatkannya, dan mencegah bahaya dengan menelantarkannya, kaidahnya:
أن الضرر يزال
“Bahwa bahaya itu dihilangkan”.
Berdasarkan hadits Abu Sa’id Al Khudri –radhiyallahu ‘anhu- bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
لا ضَرَرَ ولا ضِرارَ رواه الحاكم ( 2 / 57 – 58 )
“Tidak ada bahaya dan tidak membahayakan”. (HR. Al Hakim: 2/57-58)
Dan telah diriwayatkan oleh Ibnu Majah: 2340 dari hadits Ubadah bin Shamit –radhiyallahu ‘anhu- bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah memutuskan bahwa:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak ada bahaya dan tidak membahayakan”.
Memperhitungkan sisi bahaya dan kesuitan merupakan pendapat sebagian para ulama, sekelompok mereka telah berfatwa bahwa seorang wanita jika menempuh perjalanan ibadah haji lalu suaminya meninggal dunia, maka ia tetap menyempurnakan manasik hajinya jika kembali (ke negaranya) nampak sisi bahaya dan kesulitannya.
Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata:
“Wanita yang menjalani masa iddah karena suaminya meninggal dunia, tidak boleh menempuh perjalanan ibadah haji atau perjalanan lainnya. Dan jikalau ia sudah keluar dan suaminya meninggal dunia di tengah jalan, maka ia kembali ke rumah jika jaraknya dekat; karena statusnya sebagai mukimin, dan jika jaraknya jauh ia melanjutkan perjalanannya”. Malik berkata: “Dikembalikan (ke daerahnya) selama ia belum berihram, yang benar adalah bahwa yang datang dari jauh tidak dikembalikan; karena akan membahayakannya dan ia akan mengalami kesulitan”. (Al Mughni: 11/303)
Syeikh Jaad al Haq –rahimahullah- pernah ditanya:
“Ada seorang wanita yang suaminya baru saja meninggal dunia, ia pun masih berada di dalam masa iddah sampai sekarang, sebelum suaminya wafat wanita tersebut sudah mengajukan mau melaksanakan ibadah haji dan disetujui oleh suaminya secara tertulis untuk perjalanan ibadah yang wajib ini, ia pun termasuk yang terjadwal untuk berangkat haji pada tahun ini 1401 H. dan ia pun sudah melunasi biaya yang diminta ?”.
Beliau menjawab dengan jawaban yang panjang:
“Beliau menyebutkan pendapat para ulama terkait dengan syarat adanya mahram bagi seorang wanita untuk perjalanan haji, dan pendapat mereka terkait hajinya seorang wanita yang masih berada di dalam masa iddah, lalu beliau berkata:
“Ketika dalam kondisi seperti itu, dan yang tampak pada soal di atas bahwa wanita yang ditanyakan di atas telah mendapat izin dari suaminya untuk berangkat haji lalu suaminya tersebut meninggal dunia, dan ia masih berada di dalam masa iddah wafat, dan kalau ia duduk menunggu masa iddah berakhir di rumahnya maka akan ketinggalan ibadah haji, padahal ia sudah melunasi semua biaya dan persiapan haji setelah mendapatkan jadwal keberangkatan haji, ia pun masih belum pernah haji sebelumnya, dan bisa diketahui secara umum bahwa perjalanan haji di masa kita ini terikat dengan kemaslahatan negara secara umum yang mengikatnya, penentuan jumlah jama’ah haji yang berangkat dengan cara undian, wanita tersebut bisa jadi karena system negara di atas bisa jadi tahun depannya terhalang untuk berangkat haji, jika kondisi wanita yang ditanyakan di atas seperti ini, yaitu kondisi darurat dan tersedianya kesempatan yang tidak mudah mendapatkannya, apalagi dari pihak pemerintah sudah mengizinkannya untuk berangkat haji saat ini maka hal itu sama dengan wafatnya suami sementara ia melaksanakan ibadah haji, berlaku baginya apa yang diucapkan oleh Ibnu Qudamah: “Kedua sumber sebelumnya”, beliau memberikan argumentasi kuat dan bisa diterima dengan nash di atas tadi.
Dan apa yang dinukil dari Ibnu Hubairah dari para imam, Malik, Syafi’i, dan Ahmad jika ia khawatir akan ketinggalan ibadah haji jika harus menunggu masa iddah selesai, maka ia boleh tetap berangkat dengan “Kedua sumber sebelumnya”.
Saat kondisinya seperti itu, maka wanita yang ditanyakan di atas boleh melaksanakan ibadah haji, meskipun masih berada di dalam masa iddah suaminya; karena haji itu lebih kuat (perintahnya); karena sebagai salah satu dari rukun Islam, kesulitan karena terlambat melaksanakannya adalah hal yang besar, maka wajib didahulukan, apalagi ia sudah masuk sejak proses awalnya dan suaminya masih hidup dan ia pun mengizinkannya, hal inilah yang menjadi jalan keluar dari nash-nash tersebut dari fikihnya para imam, Malik, Syafi’i dan Ahmad.
Wallahu Ta’ala A’lam
(Fatawa Daar Al Ifta’: 1/204 / Maktabah Syamilah)
Wallahu A’lam yang nampak adalah bahwa hal itu juga cocok bagi orang yang telah membayar biaya haji setelah suaminya meninggal dunia karena tidak tahu hukum syar’i maka ia dimaafkan karena ketidaktahuannya, akan tetapi jika ia mampu untuk mengembalikan dana haji itu, maka ia wajib melakukannya dan ia pun tinggal di rumah sampai selesai masa iddahnya.
Wallahu A’lam
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam