Apa hukum membaca ayat-ayat diantara takbir hari raya yang dilakukan sebelum menunaikan shalat hari raya, dimana masjid di dekat kami melakukan hal itu dengan pengeras suara, apakah ini termasuk bid’ah? Dan memanjangkan huruf ba’ pada takbir yang terakhir. Saya mengetahui hal ini tidak diperbolehkan, bagaimana hukum mendiamkan hal ini dari mereka?
Table Of Contents
Pertama:
Hukum beribadah (Kepada Allah) dengan cara dan bentuk tertentu.
Telah diketahui bahwa bacaan Al-Qur’an dan takbir termasuk suatu amalan kebaikan, akan tetapi menggabungkan keduanya dengan cara seperti ini dan dikhususkan pada waktu tertentu atau meyakini keutamaan di dalalmnya, termasuk amalan yang menyalahi sunnah dan itu adalah hakekat bid’ah.
As-Syatibi rahimahullah mengatakan,”Bid’ah adalah metode yang dibuat-buat dalam beragama. Yang menandingi syareat. Maksud melakukkan hal itu seperti maksud yang ada dalam syareat.’ Selesai dari ‘al-I’tishom, 1/47.”
Beribadah dengan cara khusus seperti ini, itu harus ada dalil syar’inya. Dimana ketika tidak ada ketetapan tidak ada dalil akan disyareatkannya. Dan tidak ada pensyareatannya baik nash ataupun atsar, maka itu termasuk dalam kategori Bid’ah Syar’iyyah.
Dari Aisyah radhiallahu’anha berkata, Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ ، فَهُوَ رَدٌّ
رواه البخاري (2697)، ومسلم (1718
“Siapa yang membuat baru dalam urusan kami (agama) ini yang tidak ada didalamnya, maka ia tertolak. HR. Bukhori, (2697) dan Muslim, (1718).
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan,”Hadits ini termasuk pokok nan agung diantara pokok-pokok Islam, yaitu seperti timbangan untuk amalan-amalan yang dhohir (nampak). Sebagaimana bahwa hadits (الأعمال بالنيات / amalan-amalan itu tergantung niatan). Itu termasuk timbangan dalam amalan batin. Sebagaimana semua amalan ketika tidak ditujukan untuk mendapatkan keredoan Allah ta’ala, maka pelakunya tidak akan mendapatkan pahala, bagitu juga semua amalan yang tidak ada perintah dari dari Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan tertolak untuk pelakunya. Maka semua apa yang baru dalam agama, dimana Allah dan Rasul-Nya tidak mengizinkannya, maka tidak ada bagian apapun dari agama. Selesai dari kitab ‘Jami’ Al-Ulum wal Hikam, (1/176).
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ta’ala mengatakan,”Prilaku para hamba dalam ucapan dan perbuatan itu ada dua macam, ibadah yang sesuai dengan agamanya, dan ibadah yang dibutuhkan oleh dunianya. Dengan meneliti dari pokok-pokok syareat Islam, kita mengetahui bahwa ibadah-ibadah yang Allah wajibkan dan (Allah) cintai, tidak ada ketetapan perintah kecuali lewat syareat.” Selesai dari ‘Majmu’ Fatawa, 29/16).
Karena urgensinya silahkan anda merujuk jawaban soal no. (192455) dan no. (127851).
Silahkan melihat terkait memanjangkan huruf ‘Ba’ dalam kata ‘takbir yang diucapkan dengan redaksi ‘أكبار' serta artinya itu menyalahi dari pengagungan kepada Allah ta’ala. Serta larangan akan hal itu di jawaban soal no. (103381).
Kedua:
Hukum mendiamkan bagi orang yang beribadah dengan cara bid’ah.
Terkait hukum mendiamkan untuk mereka itu ada dua macam, diam karena menyetujui mereka dan merasa bagus dengan cara seperti ini. Hal ini dilarangnya. Karena seharusnya orang yang melihat suatu kemungkaran hendaknya dia mengingkarinya meskipun dengan hatinya. Bukan dengan memberikan penilain bagus kepadanya.
Dari Abu Said Al-Khudri berkata, saya mendengar Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
رواه مسلم (49
“Siapa diantara kalian yang melihat suatu kemungkaran, maka hendaknya dia merubah dengan tangannya (kekuatannya). Kalau tidak mampu,maka dengan lisannya. Kalau tidak mampu,maka dengan hatinya dan hal itu termasuk keimanan yang paling lemah.HR. Muslim, (49).
Sementara kalau orang yang mendengarkan itu mengingkari bid’ah ini, akan tetapi dia terpaksa untuk mendengarkannya karena ketidak mampuannya untuk merubahnya, maka hal ini dia mempunyai uzur (alasan yang dibenarkan). Seorang muslim itu diperintahkan untuk bertakwa kepada Allah sesuai dengan kemampuannya. Sementara kalau dia tidak mampu, maka dia mempunyai uzur di dalamnya.
Allah ta’ala berfirman:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
البقرة/286
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” QS. Al-Baqarah: 286.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,”Siapa yang meneliti apa yang ada dalam Qur’an dan sunnah, maka jelas baginya bahwa kewajiban itu bersyarat dengan kemampuan ilmu dan amalan. Siapa yang tidak mampu salah satu dari dua hal tadi, maka gugur baginya apa yang dia tidak mampu. Dan Allah tidak akan membebani kecuali sesuai dengan kemampuannya. Ini termasuk kaidah yang besar. Selesai dari ‘Majmu’ Fatawa, (21/634).
Dimana Orang yang mendengar berijtihad dengan menyibukkan takbir yang disyariatkan.
Kalau tidak ada masjid lainnya, atau tempat shalat yang dapat menunaikan sunnah di dalamnya, maka tidak disyareatkan meninggalkan shalat hari raya bersama mereka karena apa yang mereka lakukan dari penyimpangan atau bid’ah, bahkan meninggalkan semacam itu, dikategorikan masuk dalam bid’ah dan lebih berat menyeleweng dari perintah syareat.
Wallahua’lam