Apa hukum (shalat) tahajud pada malam Lailatul Qadar tanpa (melaksanakan) pada malam-malam lainnya?
Tidak Mungkin Seorangpun Menentukan Suatu Malam Itu Adalah Lailatul Qadar
Pertanyaan: 50693
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Pertama, terdapat keutamaan yang agung beribadah pada malam Lailatul Qadar. Tuhan kita Tabaraka wa Ta’ala telah menyebutkan bahwa ia lebih baik dari seribu bulan. Dan Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan bahwa barangsiapa yang berdiri (menunaikan shalat) dalam kondisi beriman dan penuh pengharapan, maka akan diampuni baginya dosa-dosa yang telah lalu.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan, Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al-Qadar: 1-5)
Dari Abu Hurairah radhiallahu‘ahu dari Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ (رواه البخاري، رقم 1910، ومسلم، رقم 760 )
“Barangsiapa yang berdiri (menunaikan shalat) pada malam Lailatul Qadar dalam keadaan beriman dan berharap (pahala), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni." (HR. Bukhari, no. 1910, Muslim, no. 760).
Beriman, maksudnya mengimani keutamaan dan disyariatkannya beramal di dalamnya.
Berharap (pahala), maksudnya adalah ikhlas dan berniat hanya untuk Allah Ta’ala
Kedua, para ulama berbeda pendapat tentang penentuan malam Lailatul Qadar menjadi berbagai pendapat. Pendapat-pendapat dalam masalah ini sampai lebih dari empat puluh pendapat, sebagaimana dilansir dalam kitab Fathul Bari. Dan pendapat terdekat dari kebenaran adalah bahwa malam tersebut terjadi pada malam ganjil di sepuluh malam terakhir di bulan Ramadan.
Dari Aisyah radhiallahu ‘anha sesungguhnya Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ (رواه البخاري، رقم 2017 – واللفظ له – ومسلم، رقم 1169)
“Carilah Lailatul Qadar pada malam ganjil di sepuluh malam terakhir di bulan Ramadan.” (HR. Bukhari, no. 2017, redaksi berasal dari riwayat beliau, dan Muslim, no. 1169)
Hadits tersebut dikelompokkan oleh Bukhari dalam bab 'Mencari Lailatul Qadar pada malam ganjil di sepuluh malam terakhir.'
Hikmah disembunyikannya adalah untuk memberikan semangat kepada kaum muslimin untuk mengerahkan semangat dalam beribadah, berdoa dan zikir pada sepuluh malam terakhir seluruhnya. Hikmah ini sama seperti tidak ada penentuan waktu ijabah (dikabulkan doa) pada hari Jum’aht, dan tidak ditentukannya nama-nama (Allah) sembilan puluh sembilan yang Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallalm sabdakan: “Barangsiapa yang menghitungnya maka dia akan masuk surga.” (HR. Bukhari, no. 2736 dan Muslim, no. 2677)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Ungkapan Imam Bukhari- 'Bab mencari Lailatul Qadar di malam ganjil pada sepuluh malam terakhir.' Keterangan ini memberikan isyarat kuatnya (pendapat) bahwa Lailaul Qadar hanya terdapat di bulan Ramadan, kemudian pada sepuluh malam terakhir, kemudian di malam-malam yang ganjil. Tidak disebutkan malam tertentu. Pendapat ini yang ditunjukkan berbagai dalil yang ada.” (Fathul Bari, 4/260)
Beliau juga berkata: “Para ulama berkata, hikmah disembunyikannya Lailatul Qadar adalah agar semangat dalam pencariannya, lain kalau ditentukan pada malam tertentu, pasti akan fokus pada malam itu saja. Seperti hal ini juga waktu ijabah pada hari jum’at.” (Fathul Bari, 4/266)
Ketiga, kesimpulannya, tidak mungkin seorang pun memastikan malam tertentu itu adalah Lailatul Qadar. Apalagi jika kita ketahui bahwa Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam sebenarnya ingin memberitahukan umatnya, namun kemudian beliau memberitahu bahwa Allah telah mengangkat (melupakan) pengetahuan itu.
فعن عبادة بن الصامت رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم خَرَجَ يُخْبِرُ بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ ، فَتَلاحَى رَجُلانِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ ، فَقَالَ : إِنِّي خَرَجْتُ لأُخْبِرَكُمْ بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ ، وَإِنَّهُ تَلاحَى فُلانٌ وَفُلانٌ فَرُفِعَتْ ، وَعَسَى أَنْ يَكُونَ خَيْرًا لَكُمْ ، الْتَمِسُوهَا فِي السَّبْعِ وَالتِّسْعِ وَالْخَمْسِ(رواه البخاري، رقم 49)
Dari Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu sesungguhnya Rasulullah sallalahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk memberitahukan Lailatul Qadar, dan ada dua orang dari umat Islam bertengkar. Maka beliau bersabda: “Sesungguhnya saya keluar untuk memberitahukan kepada kamu semua Lailatul Qadar, dan sesungguhnya fulan dan fulan telah bertengkar. Maka diangkat (pengetahuan tentang Lailatul Qadar). Semoga hal itu untuk kebaikan kalian. Maka carilah (Lailatul Qadar) di malam tujuh, sembilan dan lima (terakhir)." (HR. Bukhari, no. 49)
Para ulama di Al-Lajnah Ad-Daimah berkata: “Adapun pengkhususan suatu malam di bulan Ramadan sebagai Lailatul Qadar. Menentukan malam tertentu (sebagai Lailatul Qadar) bukan selainnya membutuhkan dalil khusus. Akan tetapi malam-malam ganjil pada sepuluh malam terakhir adalah yang lebih dekat dibandingkan dengan malam lainnya, dan malam dua puluh tujuh lebih dekat lagi sebagai Lailatul Qadar. Sebagaimana dalil yang ada menunjukkan seperti yang kami sebutkan." (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, 10/413)
Oleh karena itu tidak sepatutnya bagi seorang muslim bersungguh-sungguh beribadah pada malam tertentu dengan keyakinan bahwa dia Lailatul Qadar. Karena itu berarti memastikan yang belum pasti dan dapat membuatnya tidak mendapatkan kebaikan bagi diri sendiri. Sebab bisa jadi (Lailatul Qadar) datang pada malam dua puluh satu atau dua puluh tiga dan bisa juga malam dua puluh sembilan. Kalau dia hanya menunaikan ibadah pada malam dua puluh tujuh, maka dia akan kehilangan banyak kebaikan dan tidak mendapatkan malam yang barokah itu. Maka bagi seorang muslim hendaklah dia mencurahkan semangat dalam ketaatan dan beribadah di bulan Ramadan semuanya dan lebih banyak lagi pada sepuluh malam terakhir. Inilah petunjuk Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam.
عن عائشة رضي الله عنها قالت : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ . (رواه البخاري، رقم 2024 ومسلم، رقم 1174)
Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, dia berkata: “Biasanya Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memasuki sepuluh (malam akhir) mengencangkan kainnya (semangat beribadah), menghidupkan malamnya serta membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari, no. 2024. Muslim, no. 1174)
Wallahu ‘alam.
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam