Unduh
0 / 0
4738121/10/2007

Bagaimana Keluarga Menghadapi Anak Yang Suka Maksiat?

Pertanyaan: 106443

Sejumlah orang tua berpendapat bahwa kewajiban orang tua selesai dengan menjelaskan perkara halal dan haram kepada anak-anak mereka, setelah itu pilihan diserahkan kepada sang anak. Sebagian orang tua lagi berpendapat bahwa jika sang anak telah memasuki usia balig (usia 13-18 tahun), maka kewajiban orang tua terhadap anaknya selesai. Mohon penjelasan, apakah orang tua dengan berbagai cara berkewajiban mencegah anak-anaknya melakukan perbuatan haram atau cukup baginya hanya memberikan penjelasan dan kemudian sang anak bertanggung jawab atas dosa yang dia perbuat? Apakah hal ini dibenarkan? Mohon penjelasannya.

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Pertama:

Dalam beberapa jawaban, kami telah menyebutkan adanya
tanggung jawab yang besar di pundak para ayah terhadap anak-anak mereka.
Tidak cukup hanya menjelaskan dan mengajarkan, tapi juga dengan memberikan
pengajaran dan pembinaan, merawat dan memperhatikan dengan berbagai cara
yang memungkinkan bagi kedua orang tua.

Lihat jawaban soal no.
10016,
20064 dan
103526.

Jika ditakdirkan salah seorang  anak, baik laki maupun
perempuan.
Sang
anak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan syariat atau melakukan
perbuatan
yang diharamkan, atau dia durhaka kepada kedua orang tua, maka hendaknya
sang anak menambah kesungguhnya dalam memberikan petunjuk kepada mereka,
kadang dengan memberikan harapan, atau kadang dengan memberikan ancaman,
atau dengan meminta orang yang dipercaya seperti guru atau kerabat untuk
memberikan arahan dan nasehat kepadanya. Begitu pula kedua orang tua
diperintahkan untuk selalu mendoakan tanpa bosan agar anaknya yang suka
maksiat mendapatkan hidayah.

Ulama yang
tergabung dalam Lajnah Da’imah ditanya, “Aku beritahukan bahwa aku sudah tua
usia, sedangkan aku memiliki dua anak kembar yang sedang belajar di kelas 2

SMP.
Aku ingin agar keduanya menjadi istiqomah dan suka pergi ke masjid untuk
menunaikan shalat berjamaah. Hanya saja kedunya kadang enggan melakukan hal
itu dan aku selalu mendoakan untuk kebaikan keduanya. Apakah cara yang
mungkin dapat dilakukan untuk memperbaiki keduanya? Saya sudah memberi tahu
masalah ini ke pihak sekolah. Semoga Allah melindungi dan memelihara kalian.

Mereka menjawab:

“Kami nasehatkan
anda untuk terus menasehati anak-anak anda, jangan putus asa, gunakan
berbagai cara yang bermanfaat untuk mendidik dan mengarahkan mereka. Kadang
dengan imin-iming, kadang dengan ancaman. Tumbuhkan rasa cinta kepada Allah
dan Rasul-Nya di hati mereka, jauhkan mereka dari teman yang buruk dan
timbulkan kesukaan bergaul dengan orang-orang saleh dan peringatkan mereka
dari sarana-sarana media yang merusak. Sebelum dan sesudahnya, banyak-banyak
memohon kepada Allah untuk kebaikan mereka, inilah pujian yang Allah berikan
kepada orang-orang saleh sebagaimana dalam firman-Nya,

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا
وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
 (سورة الفرقان: 74)

“Dan orang orang
yang berkata: “Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami
dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam
bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan: 74)

Syekh Abdul Aziz
Alu Syekh, Syekh Abdullah bin Gudayyan, Syekh Saleh Al-Fauzan, Syekh Bakar
Abu Zaid

(Fatawa Lajnah
Daimah, 25/288)

Sebagaimana anda
ketahui, apa yang telah disebutkan para ulama telah jelas bahwa merupakan
kewajiban orang tua memperhatikan pendidikan dan pengajaran terhadap
anak-anaknya serta mencegah mereka dari kemunkaran dan tidak memberikan
peluang kepada mereka untuk melakukannya. Ini bukan sikap ekstrim terhadap
suatu masalah. Namun dianjurkan untuk bersikap lembut terhadap anak-anak
yang berbuat maksiat, gunakan berbagai cara untuk memberikan arahan dan
nasehat kepada mereka, betapapun maksiat yang telah mereka lakukan, tetaplah
mereka bagian dari keluarga yang tidak mungkin kita singkirkan.

Kedua:

Kapan tanggung jawab keluarga selesai terhadap anak-anak mereka?

Para
ulama membagi masalah ini antara anak laki-laki dan anak perempuan. Jumhur
ulama berpendapat bahwa perwalian orang tua terus berlangsung terhadap anak
wanita hingga mereka berkeluarga.

Disebutkan dalam
Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah (8/204-205)

Menurut mazhab
Hanafi: Perwalian seorang bapak terhadap anak perempuan berakhir setelah
sang anak sudah berusia tua dan memiliki pandangan. Dia dapat tinggal dimana
yang dia sukai dan tidak ada kekhawatiran padanya. Jika dia seorang janda,
dia tidak tinggal bersamanya, kecuali jika dikhawatirkan terhadap dirinya.
Dia boleh tinggal bersama bapak dan kakeknya, bukan kepada selain keduanya
sebagaimana awalnya.

Perwalian sang
bapak terhadap anak berakhir ketika sang anak sudah masuk usia balig dan
mandiri dalam pendapatnya, kecuali jika sang anak masih dikhawatirkan
terhadap dirinya, misalnya dia suka merusak dan menakut-nakuti. Maka seorang
bapak dapat memintanya untuk tinggal bersamanya untuk menghindari musibah
dan nama buruk serta mendidiknya jika terjadi sesuatu padanya.

Menurut mazhab
Maliki, perwalian seseorang berakhir terhadap seseorang apabila sang anak
mencapai usia balig yang normal, yaitu apabila dia telah menikah. Ketika itu
dia boleh pergi kemana saja, akan tetapi jika dikhawatirkan terjadi gangguan
padanya, karena cantik/tampannya, atau jika dia selalu ditemani orang-orang
jahat yang selalu mengajarkan akhlak tercela kepadanya, hendaknya sang anak
tetap tinggal bersamanya hingga sang anak lurus prilakunya.

Jika anak
laki-laki telah dewasa, dia boleh pergi kemana saja dia mau, karena hak
mencegahnya sudah
tidak berlaku. Jika anak laki-laki telah balig, walaupun dia gila dan idiot,
maka kewajiban merawat bagi seorang ibu telah gugur, menurut pendapat yang
masyhur.

Adapun jika dia
anak perempuan, maka perawatan masih terus menjadi kewajiban ibu sampai anak
perempuan itu menikah dan digauli suaminya. 

Sedangkan menurut
mazhab Syafii, perwalian berakhir terhadap anak kecil apabila dia sudah
masuk usia balig, baik laki-laki maupun perempuan.

Sedangkan menurut
mazhab Hambali: Kewajiban merawat hanya berlaku terhadap anak kecil atau
kalau dia cacat. Adapun jika anak sudah balig dan dewasa, maka tidak ada
kewajiban merawatnya.
Jika
dia seorang laki-laki, maka dia boleh tinggal sendiri karena dia sudah
mandiri. Jika dia anak wanita, dia tidak boleh tinggal sendiri, dan bapaknya
berhak melarangnya, karena dia tidak aman ada orang yang akan mengganggunya
dan kemudian menimbulkan aib bagi dirinya dan keluarganya. Jika dia tidak
memiliki  bapak, maka walinya atau keluarganya mencegahnya untuk tinggal di
luar.”
Selesai

Pandangan para ulama nyaris sepakat bahwa tanggung jawab keluarga terhadap
anak perempuannya adalah sampai dia masuk usia balig, di antara mereka ada
yang membatasi akhir tanggungjawab orang tuanya hingga dia menikah, karena
ketika itu sudah ada pihak yang bertanggung jawab atasnya. Di antara mereka
ada yang menetapkan syarat harus berada di tempat aman dan tidak ada sesuatu
yang mengkhawatirkan atasnya. Pemisahan antara laki dan wanita sangat jelas
dari pandangan para ulama. Sisi yang sama antara anak laki dan perempuan
adalah jika tidak merasa aman apabila mereka tinggal sendiri atau
dikhawatirkan adanya pergaulan yang merusak atau dia tidak dapat bertindak
dengan baik, maka tanggung jawab keluarga tetap berlaku dan bersambung,
tidak terputus, walaupun mereka telah melewati usia balig.

Dalam fatawa Nurun ala-Darb, Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menjadikan seorang laki-laki
sebagai penanggung jawab di rumahnya, beliau mengabarkan bahwa mereka
bertanggung jawab atas orang-orang yang dipimpinnya. Beliau tidak membatas
hingga usia berapa. Selama dia mampu mengurus rumah tangganya, maka dia
memiliki kewajiban untuk merawat anaknya, dan dia akan ditanya tentang
kondisi keluarganya.”

Ketiga:

Berbagai kemungkaran yang dilakukan anak-anak di dalam rumah tidak boleh
didiamkan, tapi hendaknya dia diberi nasehat dan diarahakan kepada kebaikan.
Tidak pantas kedua orang tua mendukung pelaku kemungkaran atas perbuatannya,
seperti memberinya uang agar dia dapat membeli sesuatu yang diharamkan, atau
memberinya fasilitas agar dia mudah melakukannya. Tapi kedua orang tua boleh
mendiamkannya atau tidak melakukan sesuatu tindakan jika akibatnya adalah
anak kabur dari rumah. Jika tindakan mereka diperkirakan akan berdampak
buruk lebih besar dan lebih banyak dari kemaksiatan itu sendiri, maka kedua
orang tua boleh mendiamkan anak-anak yang mendengarkan musik, atau melihat
sesuatu yang diharamkan, khawatir jika dia melakukan tindakan tertentu, hal
itu menyebabkan sang anak kabur dari rumah sehingga menyebabkan dia
melakukan maksiat lebih besar lagi jika dirinya berada di luar rumah.
Sebagaimana diketahui bahwa anak yang kabur dari rumah, akan lebih leluasa
melakukan apa yang tidak boleh dia lakukan di dalam rumah, maka dengan
demikian, problem yang diakibatkan oleh sang anak durhaka tersebut akan
semakin bertambah.

Bahkan seandainya pun hal tersebut tidak menyebabkannya kabur dari rumah
atau terisolir, banyak di kalangan anak-anak yang di rumahnya dilarang
menyaksikan televise atau mendengarkan nyanyian di dalam rumah, sementara
Allah belum memberi hidayah dalam hatinya dan melapangkan dada untuk
menerimanya, maka ketika itu tidak ada yang mengontrol prilakunya dan tentu
saja menjadi kesempatan timbulnya kerusakan yang berlipat-lipat.

Ketika itu, jika orang tua merasa tidak mampu meluruskan kondisi anaknya dan
mencegahnya dari kebiasaan menonton televisi atau lainnya, maka demi
kemaslahatan, dia boleh mengabaikan sebagian dari apa yang dilakukan
anak-anaknya, untuk menghindari kemunkaran yang lebih besar akibat
pelarangan yang dia lakukan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya, perintah
dan larangan, jika mengandung kebaikan dan menolak keburukan, hendaknya
dilihat dampaknya, jika ternyata kebaikan yang hilang atau kerusakan yang
datang lebih besar, hendaknya tidak diperintahkan, bahkan bisa jadi hal
tersebut diharamkan jika keburukannya
lebih besar dari kebaikannya.”

(Majmu Fatawa,
28/129)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah langsung menerapkan perkara tersebut secara
praktis. Beliau berkata, “Suatu saat, saya dan beberapa orang sahabat saya
pada masa Tatar, melewati sebagian mereka yang sedang minum khamar. Salah
seorang yang bersamaku mengingkari perbuatan tersebut, namun aku
mengingkarinya. Aku katakan kepadanya, “Sesungguhnya Allah mengharamkan
khamar karena dia mencegah seseorang dari berzikir kepada Allah dan shalat,
tapi bagi mereka, khamar mencegah mereka dari membunuh orang lain, menculik
dan merampas harta, biarkan mereka.”

(Dikutip oleh Ibnu Qayim dalam I’lam Al-Muwaqqiin, 3/5)

Demikian pula hendaknya dikatakan jika melihat kondisi putra putri kita.
Sesunggunya, jika mereka kabur dari rumah, tidak diragukan lagi bahwa hal
tersebut akan mengundang kemunkaran lebih besar dan lebih berat dari
sebelumnya, karena akan terbuka peluang lebih besar baginya kemungkaran yang
jauh dari pengawasan keluarga. Maka hendaknya kepada setiap orang tua untuk
memperkirakan masalah ini, kalau tidak, kerugiannya akan sangat berat.

Wallahua’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android