Unduh
0 / 0
1207817/03/2009

MENINGGALKAN SHALAT DI MASJID NABAWI UNTUK SHALAT DI BELAKANG IMAM YANG DINILAINYA LEBIH KHUSU’ DIHATINYA

Pertanyaan: 125601

Kami berdekataan dengan Masjid Nabawi di Madinah pada sepulum malam akhir di bulan Ramadan pada tahun lalu. Salah seorang pemuda biasanya dia pergi shalat di haram setiap waktu fardu kecuali shalat isya’ dan taroweh begitu juga qiyamul lalil berada diluar masjid (nabawi) dengan alasan hatinya tidak di dapatkan dalam shalat juga tidak nyaman dengan suara salah seorang Imam Masjidil Nabawi. Dan dia berkomnetar, dia tidak ingin hilang sepuluh malam akhir. Yang paling penting bagi diriku adalah hatiku. Dan salah seorang yang beri’tikaf mengatakan, ‘Saya beri’tikaf sehari penuh kecuali waktu shalat isya’ dan qiyam. Saya shalat di luar masjid nabawi. Apa koreksi anda wahai Syekh semoga Allah melindungi anda?

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Shalat di masjid Nabawi dilipat gandakan
(pahalanya) berlipat-lipat.

فقد روى البخاري (1190) ومسلم (1394) عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : (صَلاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ
صَلاةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلا الْمَسْجِدَ الْحَرَام)

Telah diriwayatkan oleh Bukhori, 1190 dan
Muslim, 1394 dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu sesungguhnya Nabi
sallallahu’alaihi wa sallam bersabda, ‘Shalat di masjidku ini, seribu kali
lebih baik dibandingkan shalat di masjid lainnya kecuali masjid haram.’

Hadits ini mencakup shalat wajib dan sunnah
yang dianjurkan menunaikan secara berjamaah di masjid-masjid seperti
taroweh.

Para ulama’ Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta’
mengatakan, ‘Dianjurkan shalat sunnah di rumah, baik sunnah rowatib maupun
lainnya. Kecuali apa yang disyareatkan melaksanakannya di masjid seperti
shalat tahiyyahul masjid. Begitu juga apa yang disyareatkan dilaksanakan
secara berjamaah seperti taroweh dan kusuf. Keduanya dilaksanakan di masjid.
Begitu juga shalat id dan istisqo’ dilaksanakan di mushollah (lapangan
tempat shalat).’ Selesai dengan ringkasan. Fatawa AL-Lajnah Ad-Daimah,
7/239.

Sementara teman anda yang meninggalkan shalat
taroweh di masjid nabawi dengan sebab yang telah anda sebutkan. Maka tidak
diragukan bahwa khusu’ dalam shalat dan pembetulan hati dalam shalat
termasuk perkara yang dicari. Dan suara AL-Qur’an nan indah membantu untuk
itu. bahkan dapat berpengaruh bagi orang yang mendengarkannya. Kalau teman
anda akan shalat di masjid lain, hal itu agar lebih khusu’ hatinya. Maka hal
itu tidak mengapa. Tapi dia meninggalkan keutamaan tempat. dan sangat
menjaga keutamaan terkait dengan shalat itu sendiri yaitu khusu’. Ketika dua
keutamaan berbenturan –sebagaiamana kondisi teman anda- maka seyogyanya
mengedepankan keutamaan yang terkait dengan ibadah itu sendiri.

Syekh Ibnu Jibrin rahimahullah mengatakan,
‘Sesungguhnya suara bagus dan bacaan baik. Dapat mengena di hari, berimbas
pada kehadiran hati, kekhusu’an badan, membekas dari kalamullah dan
menikmati dengan mendengarkannya. Sebagai sebab dalam memahaminya,
mengetahui arti, mentadaburi, mengetahui mukjizat dan keindahan bahasa,
kekuatan uslubnya. Kesemuanya itu menjadi sebab untuk dapat mengamalkannya.
Menerima petunjuk dan arahannya. Maka tidak dilarang orang yang mencari
qori’ yang bagus bacaannya. Indah bacaan Al-Qur’an, hafal, khusu’ dalam
bacaannya, tumakninah dalam shalatnya. Karena shalat semacam ini yang dicari
untuk dapat shalat dibelakangnya. Meskipun di tempat yang jauh. Lebih
diutamakan dari lainnya yang kurang bagus bacaannya, kurang tepat, sering
salah atau suaranya kurang bagus, tidak melagukan Al-Qur’an atau membaca
dengan tergesa-gesa dan cepat sekali. Atau tidak tumakninah dalam shalatnya,
tidak khusu’ dalam bacaannya meskipun masjidnya dekat.’ Selesai ‘Fatawa
Syekh Ibnu Jibrin, 24/28..

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,
‘Perkataan penanya apakah beri’tikaf di masjidil haram lebih utama
dibandingkan dengan yang lainnya?

Beliau menjawab, ‘Ya. Beri’tikaf di masjidil
haram lebih utama dibandingkan dengan beri’tikaf di masjid lain. Selanjutnya
beri’tikaf di masjid nabawi, selanjutnya beri’tikaf di madjidil Aqsho.
Kemudian masjid lainnya yang lebih utama dan yang lebih utama.

Akan tetapi disini ada masalah hendaknya jeli
melihatnya, bahwa memperhatikan ibadah itu sendiri lebih diutamakan
dibandingkan dengan memperhatikan waktu dan tempatnya. Yakni apa yang
kembali ke ibadah itu sendiri dari keutamaan lebih diutamakan dari pada
memperhatikan tempat dan waktunya. Yakni kalau seseorang beri’tikaf di
masjid lain selain dari tiga masjid itu lebih sempurna dan lebih khusu’
kepada Allah Azza Wajalla serta lebih banyak beribadah. Maka i’tikafnya di
masjid tersebut itu lebih utama. Karena keutamaan ini kembali kepada ibadah
itu sendiri.

Ahli ilmu melihat, bahwa raml (lari-lari
kecil) bagi orang yang towaf pada towaf qudul itu lebih utama dibandingkan
dekat dengan ka’bah. Mereka menjelaskan hal itu, bahwa raml (lari-lari
kecil) adalah keutamaan terkait dengan ibadah itu sendiri. Sementara dekat
dengan ka’bah adalah keutamaan terkait dengan tempat. memperhatikan
keutamaan terkait dengan ibadah itu sendiri lebih utama dibandingkan dengan
memperhatikan (keutamaan) tempatnya. Poin ini, hendaknya seseorang terutama
tolib ilmu memperhatikannya. Yaitu menjaga keutamaan ibadah itu sendiri
lebih utama dibandingkan menjaga (keutamaan) tempat dan waktu.’ Selesai
‘Fatawa Nurun ‘Alad Darbi, 205/4-5.

Syekh juga mengatakan, ‘Tidak diragukan lagi
bahwa beri’tikaf kalau di masjid tiga (masjid haram, nabawi dan aqso) dimana
orang bepergian dan bermaksud ke tiga tempat tersebut adalah lebih utama.
Tidak seorangpun yang membantahnya. Kecuali kalau hal itu berimbas lebih
banyak khusu’ di masjidnya, menghadap kepada Allah Azza Wajallah dan selamat
dari kegaduhan dan dari penglihatan yang membahayakan bagi dirinya. maka
kami katakan, masjid anda lebih utama.’ Selesai dengan ringkasan. ‘Syarkh
Al-Kafi, 4/159.

Yang nampak bagi kami, tidak mengapa dari
prilaku teman anda. Padahal para imam di dua masjid haram memilih dengan
teliti. Orang yang membacanya juga dengan bacaan bagus dan suara yang indah.

Sementara keluarnya sebagian orang yang
beri’tikaf untuk shalat isya’ dan qiyam di luar majid nabawi. Maka
i’tikafnya tidak sah. Karena dia keluar dari masjid yang bukan keperluan
mendesak.

Selayaknya dia, beri’tikad sepuluh malam
terakhir di majid nabawi dan tidak keluar kecuali ada keperluan mendesak
(dorurah) dan ini yang lebih utama. Atau dia beri’tikaf di masjid yang dia
shalat di situ. Agar dia mendapatkan pahala i’tikaf sepuluh malam akhir. Dan
mencontoh Nabi sallallahu’alaihi wa sallam.

Wallahu’alam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android