Unduh
0 / 0
374723/03/2012

Dia Menginginkan Untuk Menikahi Perempuan Nashrani Dan Memberikan Syarat Kepadanya Agar Memakai Cadar Dan Tidak Lagi Pergi Ke Gereja

Pertanyaan: 135550

Sahabatku seorang perempuan nashrani ingin menikah dengan lelaki Muslim. Akan tetapi dia ragu untuk menyampaikannya kepada pemuda muslim tersebut karena dia mengetahui bahwa dia adalah seorang Nashrani, sedang pemuda muslim tersebut memaksanya agar dia mengenakan cadar, tidak lagi pergi ke gereja, tidak lagi bekerja, menghentikan berkomunikasi dengan keluarganya, dan agar dia mengenakan pakaian yang dia kehendaki – bukan yang dikehendaki oleh agama Islam, dan pemuda muslim tersebut bersikukuh dengan perkataannya yaitu satu ungkapan “Apa yang saya kehendaki”. Pemuda tersebut akan marah apabila si perempuan tidak menyepakati pendapatnya, seraya berkata : sesungguhnya seorang istri harus menjadi istri yang taat, dan tidak boleh mengikuti keyakinan dan prinsipnya. Apakah suami yang Muslim ini berhak menuntut segala permintaan tersebut kepada istrinya? Adapun terkait perkara yang kedua yaitu bahwa sahabat perempuanku ini seorang wanita yang baik, akan tetapi dia tidak lagi perawan, dan saya mendengar bahwa pernikahan seorang Muslim dengan seorang pezina tidak dibolehkan, maka apakah hal tersebut benar ??

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

..

Pertama :

Tidak dibolehkan
seorang Muslim menjadikan orang kafir sebagai sahabatnya, karena di dalam
persahabatan pasti ada nilai-nilai kasih sayang dan saling mencinta. Hal
tersebut yang kita dilarang terhadap orang yang kufur kepada Allah Ta’ala
sebagai Tuhan, Islam sebagai agama dan Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam
sebagai Nabi dan Rasul, Allah Ta’ala berfirman :

لا

تَجِدُ

قَوْماً

يُؤْمِنُونَ

بِاللَّهِ

وَالْيَوْمِ

الآخِرِ

يُوَادُّونَ

مَنْ

حَادَّ

اللَّهَ

وَرَسُولَهُ

وَلَوْ

كَانُوا

آبَاءَهُمْ

أَوْ

أَبْنَاءَهُمْ

أَوْ

إِخْوَانَهُمْ

أَوْ

عَشِيرَتَهُمْ

أُولَئِكَ

كَتَبَ

فِي

قُلُوبِهِمُ

الإيمَانَ

وَأَيَّدَهُمْ

بِرُوحٍ

مِنْهُ

وَيُدْخِلُهُمْ

جَنَّاتٍ

تَجْرِي

مِنْ

تَحْتِهَا

الأَنْهَارُ

خَالِدِينَ

فِيهَا

رَضِيَ

اللَّهُ

عَنْهُمْ

وَرَضُوا

عَنْهُ

أُولَئِكَ

حِزْبُ

اللَّهِ

أَلا

إِنَّ

حِزْبَ

اللَّهِ

هُمُ

الْمُفْلِحُونَ
(سورة

المجادلة:
22)

“Kamu tidak akan
mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling
berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,
sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara
atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah
menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan
pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam
surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya.
Allah rida terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan
rahmat) -Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya
golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (QS Mujadilah: 22)

Lihat pula jawaban
soal no.  13730.

Hal itu bukan
berarti kita tidak berbakti dan berbuat baik kepadanya, khususnya hal itu
datangnya dari anda yang bertujuan untuk mendakwahkannya kepada Islam, dan
mengenalkannya akan akhlak dan hukum-hukum Islam. 

Dan tidak jadi
masalah jika memang perkara pernikahan lelaki muslim tersebut dengan wanita
nashrani ini menjadi sebab kenal dan masuknya dia ke dalam agama Islam. Dan
upaya yang wajib anda lakukan terhadapnya bila memang memungkinkan adalah
mengarahkannya dan memanfaatkan keberadaan Islamic Center yang ada, lalu
memberikannya kitab-kitab yang mengenalkan Islam, serta beberapa alamat
website Islam yang banyak ditemui di internet yang menyajikan Islam secara
bersih. Setelah itu mungkin anda bisa menjawab pertanyaan-pertanyaannya
seputar Islam dan hukum-hukumnya. Silahkan anda lihat dua jawaban soal no.
6581 dan 40405 yang dalam
keduanya terdapat faedah-faedah yang teramat penting.

Kedua :

Allah Ta’ala
membolehkan pernikahan seorang Muslim dengan perempuan ahli kitab, baik dari
kalangan Yahudi atau Nashrani dengan syarat perempuan tadi Muhshonah – yaitu
: terhindar dari berbuat zina – Allah Ta’ala berfirman :

الْيَوْمَ

أُحِلَّ

لَكُمْ

الطَّيِّبَاتُ

وَطَعَامُ

الَّذِينَ

أُوتُوا

الْكِتَابَ

حِلٌّ

لَكُمْ

وَطَعَامُكُمْ

حِلٌّ

لَهُمْ

وَالْمُحْصَنَاتُ

مِنْ

الْمُؤْمِنَاتِ

وَالْمُحْصَنَاتُ

مِنْ

الَّذِينَ

أُوتُوا

الْكِتَابَ

مِنْ

قَبْلِكُمْ

إِذَا

آتَيْتُمُوهُنَّ

أُجُورَهُنَّ

مُحْصِنِينَ

غَيْرَ

مُسَافِحِينَ

وَلا

مُتَّخِذِي

أَخْدَانٍ

وَمَنْ

يَكْفُرْ

بِالإِيمَانِ

فَقَدْ

حَبِطَ

عَمَلُهُ

وَهُوَ

فِي

الآخِرَةِ

مِنْ

الْخَاسِرِينَ
(سورة

المائدة:
5)

“Pada hari ini
dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang
diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka.
(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di
antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah
membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang
kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah
amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS Al Maidah:
5)

Dan yang dimaksud
dengan kata Ihshon dalam ayat ini adalah menjauhkan dan menghindarkan diri
dari perbuatan zina.

Ibnu katsir
Rahimahullah berkata :

Pandangan jumhur
Ulama terkait ayat tersebut dan pendapat ini yang paling benar,yaitu agar
tidak terhimpun dalam wanita tersebut predikat dzimmiyyah (non muslim yang
berhak mendapatkan perlindungan dari orang Islam) dan dari sisi yang lain
dia juga tidak bisa menjaga kehormatannya, maka rusaklah keadaannya secara
menyeluruh. Sehingga suaminya dapat dikatakan seperti sebuah perumpamaan,
‘Sudah jatuh tertimpa tangga pula’. Kenyataannya dalam ayat tersebut bahwa
maksud dari para wanita yang bisa menjaga kehormatan adalah  yang menjaga
dan menjauhkan dirinya dari prilaku dan perbuatan zina.“ (Tafsir Ibnu katsir,
3/55).

Dalam Fatawa Ulama
al Lajnah ad Daaimah Lilifta mengungkapkan:

“Dibolehkan bagi
seorang muslim menikah dengan wanita ahli kitab – dari kalangan yahudi atau
nashrani – jika memang dia betul-betul bisa menjaga kehormatannya, dan dia
juga perempuan yang merdeka ; sebagaimana firman Allah Ta’ala :

الْيَوْمَ

أُحِلَّ

لَكُمْ

الطَّيِّبَاتُ

وَطَعَامُ

الَّذِينَ

أُوتُوا

الْكِتَابَ

حِلٌّ

لَكُمْ

وَطَعَامُكُمْ

حِلٌّ

لَهُمْ

وَالْمُحْصَنَاتُ

مِنْ

الْمُؤْمِنَاتِ

وَالْمُحْصَنَاتُ

مِنْ

الَّذِينَ

أُوتُوا

الْكِتَابَ

مِنْ

قَبْلِكُمْ

إِذَا

آتَيْتُمُوهُنَّ

أُجُورَهُنَّ

مُحْصِنِينَ

غَيْرَ

مُسَافِحِينَ

وَلا

مُتَّخِذِي

أَخْدَانٍ

وَمَنْ

يَكْفُرْ

بِالإِيمَانِ

فَقَدْ

حَبِطَ

عَمَلُهُ

وَهُوَ

فِي

الآخِرَةِ

مِنْ

الْخَاسِرِينَ
(سورة

المائدة:
5)

“Pada hari ini
dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang
diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka.
(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di
antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah
membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang
kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah
amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS Al Maidah
: 5)

As Syaikh Abdul
Aziz bin Baaz, As Syaikh Abdur Razzaq Afifi, As Syaikh Abdullah bin Ghodyan,
As Syaikh Abdullah bin Qu’ud.

(Fatawa Al Lajnah
Ad Daaimah, 18/314-315).

Akan tetapi
hendaklah wanita tersebut mengetahui bahwa agama Islam menghapuskan
dosa-dosa masa lalu, Allah Ta’ala berfirman :

قُلْ

لِلَّذِينَ

كَفَرُوا

إِنْ

يَنتَهُوا

يُغْفَرْ

لَهُمْ

مَا

قَدْ

سَلَفَ
)

سورة الأنفال: 38)

“Katakanlah kepada
orang-orang yang kafir itu: “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya),
niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah
lalu.” (QS Al Anfal: 38)

Maka jika seorang
wanita ahli kitab telah masuk Islam dan konsisten dalam menjaga kehormatan
dirinya; dibolehkan bagi seorang Muslim untuk menikahinya, meskipun di
kehidupan yang lalu dia pernah melakukan zina selama dia telah bertaubat dan
berazam untuk meninggalkannya serta tidak lagi mengulanginya kembali.

Ketiga :

Diwajibkan atas
suami dan istri dan seluruh umat manusia agar mereka mentaati Allah Ta’ala,
hendaklah mereka mematuhi segala perintah-perintah-Nya dan menjahui semua
larangan-larangan-Nya. Suami tidak diperkenankan memaksa dan mewajibkan
kepada istrinya setiap apa yang dia kehendaki, hal itu bertentangan dengan
perintah Allah, tapi tidak boleh pula seorang istri bermaksiat kepada
suaminya apabila dia memerintahkannya sebagaimana yang Allah Ta’ala
perintahkan.

Dan atas dasar ini
hendaknya suami mencegah istrinya untuk bermaksiat kepada Allah, maka dia
harus memerintahkan istrinya agar menutup aurat, melarangnya dari bekerja
selama dia bisa dan mampu menafkahi kebutuhannya.

Ibnu Qudamah
Rahimahullah berkata, “Imam Ahmad berkata kepada seorang suami yang memiliki
istri seorang nashrani, ‘Jangan memberikan izin kepadanya untuk keluar rumah
di saat hari raya mereka atau pergi ke tempat peribadatannya. Ssuami berhak
untuk melarang itu semua.” (Al Mughni, 10/620).

Ibnu Qudamah
Rahimahullah juga berkata, “Dan apabila suami mempunyai istri yang non
muslimah ahlu dzimmi, maka dia berhak melarangnya untuk keluar pergi ke
gereja, karena yang demikian itu bukanlah sebuah ketaatan dan tidak
mengandung manfaat.” (Al Mughni, 8/130).

Ibnul Qayyim
Rahimahullah menjadikan bab tersendiri dalam kitab nya Ahkamu Ahlidz Dzimmah,
2/821) tentang ‘Bab melarang istri yang ahli kitab dari mabuk-mabukan’. Ibnu
Nujaim Al Hanafi Rahimahullah menyebutkan, Sesungguhnya apabila seorang
muslim menikah dengan wanita ahli kitab maka dia berhak melarangnya meminum
minuman keras karena baunya membahayakannya, sebagaimana dia berhak melarang
istrinya yang muslimah dari mengkonsumsi bawang merah dan bawang putih jika
memang suami tidak menyukai baunya.” (Al Bahrur Raiq, 3 / 111).

Dan rujukan dalam
perkara perintah dan larangan ini adalah syariat Islam, bukan bersumber dari
hawa nafsu. Adapun larangan suami kepada istrinya agar tidak berkomunikasi
dengan keluarganya dan tidak boleh berkunjung kepada mereka, maka dalam hal
ini tidak ada hak bagi suami dan tidak boleh dia melarangnya dengan tanpa
ada sebab syariat menyerukan untuk itu. Kecuali misalnya keluarganya
mengajak kepada hal-hal yang sifatnya menyeleweng dari Islam atau berusaha
memisahkan antara suami dan istri, maka tidak ada larangan bagi suami untuk
mencegah istrinya mengunjungi keluarganya, meskipun  istri tersebut seorang
muslimah.

Keempat :

Kepemimpinan dalam
Islam yaitu bagi suami atas istrinya, dan bukanlah sebaliknya, Allah Ta’ala
berfirman :

الرِّجَالُ

قَوَّامُونَ

عَلَى

النِّسَاءِ

بِمَا

فَضَّلَ

اللَّهُ

بَعْضَهُمْ

عَلَى

بَعْضٍ

وَبِمَا

أَنفَقُوا

مِنْ

أَمْوَالِهِمْ
(سورة

النساء:
34)

“kaum laki-laki itu
adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka ”. (QS An
Nisaa: 34)

Bukanlah yang
dimaksud kepemimpinan di sini adalah bahwa suami memiliki otoritas mutlak
untuk mengatur rumah tangganya, dan bahwa istri tidak boleh mengutarakan
pendapat dan pandangannya apalagi tidak punya hak untuk memberikan keputusan.
Karena sesungguhnya terdapat ketetapan dari para sahabat Radliyallahu Anhum
bahwa istri-istri merekalah yang menjadi rujukan mereka dalam permasalahan
tertentu. Bahkan hal inilah yang dilakukan oleh para Ummahatul Mukminin
terhadap Nabi kita Alaihis Sholatu Wassalaam, sebagaimana ungkapan istri
Umar bin Al Khaththab Radliyallahu Anhuma :

 (

رواه

البخاري، رقم
4895

ومسلم، رقم
1479)

فوالله

إن

أزواج

النبي

صلى

الله

عليه

وسلم

ليراجعنه

“Maka demi Allah
sesungguhnya istri-istri  Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam adalah menjadi
rujukan beliau dalam urusan tertentu.” (HR. Bukhari, no. 4895 dan Muslim,
no. 1479).

Bahkan terdapat
satu riwayat dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bahwa beliau mengambil
pendapat dan bermusyawarah dengan salah seorang istri beliau dalam perkara
yang agung, seperti dalam peristiwa perjanjian Hudaibiyyah, yaitu ketika
beliau mengambil pendapat Ummu Salamah Radliyallahu Anha agar mencukur
rambut beliau dan menyembelih binatang kurban beliau. Tatkala beliau
Shallallahu Alaihi Wasallam dan para sahabat terhalang memasuki kota Makkah
untuk melaksanakan ibadah Umroh, lalu beliau memerintahkan sahabat-sahabat
beliau agar bertahallul akan tetapi mereka tidak segera merespon perintah
beliau.

Agama Islam tidak
menjadikan urusan kehidupan rumah tangga hanya bertumpu pada suami semata,
bahkan di sana ada sauatu perkara yang harus melibatkan dan di musyawarahkan
dengan istri dalam hal apakah harus dilakukan ataukah ditinggalkan, seperti
menyerahkan persusuan anak-anak mereka, dalam firman Allah Ta’ala :

فَإِنْ

أَرَادَا

فِصَالاً

عَنْ

تَرَاضٍ

مِنْهُمَا

وَتَشَاوُرٍ

فَلا

جُنَاحَ

عَلَيْهِمَا (سورة

البقرة:
233)

“Apabila keduanya
ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.” (QS Al Baqarah: 233)

Dan di sana
terdapat perkara yang umum yaitu berinteraksi antara suami-istri secara baik,
sebagaimana firman Allah Ta’ala:

(وَعَاشِرُوهُنَّ

بِالْمَعْرُوفِ
(سورة

النساء:
19)

“Dan bergaullah
dengan mereka secara patut.” (QS An Nisa: 19)

Perhatikan jawaban
soal no. 10680 yang di dalamnya terdapat perincian
tentang hak-hak suami-istri satu sama lain.

Yang terpenting
adalah hendaknya kehidupan rumah tangga terbangun di atas ketaatan kepada
Allah dan kepada utusan-Nya, dan antara suami-istri harus saling memahami
satu sama lain dan berkomunikasi secara baik.

Wallahu A’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

answer

Tema-tema Terkait

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android