Terdapat hadits dalam Sunan Abu Daud bab At-Takbirot, “Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Al-‘Ala’ dan Ibnu Abi Ziyad. Keduanya berkata, kami telah diberitahu oleh Zaid yanki Ibnu Habbab, dari Abdurrahman bin Tsauban, dari ayahnya dari Makhul. Dia Berkata, saya diberitahu oleh Abu Aisyah orang dekat (duduk) Abu Hurairah. Bahwa Said bin Ash bertanya kepada Abu Musa Al-Asy’ari dan Huzaifah Al-Yamani. Bagaimana Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam dahulu bertakbir untuk (shalat) Idul Adha dan Idul Fitri? Abu Musa mengatakan, “Beliau dahulu bertakbir empat kali, seperti dalam shalat jenazah. Huzaifah mengatakan, “Dia benar.” Maka Abu Musa mengatakan, “Begitu juga saya bertakbir ketika di Basyroh dimana saya bersama mereka.” Abu Aisyah mengatakan, “Saya ada pada masa Said bin Al-Ash.
Syekh Al-Albany mengatakan, ‘(Hadits) hasan shahih.’ Apakah hadits ini dishohehkan selain Syekh Al-Alabny. Dan bagaimana pendapat anda?
HADITS ABU MUSA DAN HUDZAIFAH BAHWA TAKBIR PADA SHALAT ITU ITU EMPAT (KALI) SEPERTI SHALAT JANAZAH
Pertanyaan: 138423
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Pertama,
Hadits yang banyak dan sampai ke Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam (marfu) menunjukkan bahwa bilangan takbir pada shalat Id adalah tujuh takbir di rakaat pertama selain takbiratul ihrom dan lima takbir di rakaat kedua selain takbir ketika berdiri.
Dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiallahu’anhuma, Nabi sallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
التَّكْبِيرُ فِي الْفِطْرِ : سَبْعٌ فِي الْأُولَى ، وَخَمْسٌ فِي الْآخِرَةِ ، وَالْقِرَاءَةُ بَعْدَهُمَا كِلْتَيْهِمَ
(رواه أبو داود (1151) ، ونقل الترمذي عن البخاري أنه صحح هذا الحديث ، انظر : “ترتيب العلل الكبير” (154) ، وحسنه النووي في “الخلاصة” (2/831) ، وصححه الألباني في “صحيح أبي داود)
“Takbir pada shalat idul fitri, tujuh (kali) di rakaat pertama. Dan lima (kali) di rakaat kedua. Dan ada bacaan setelah keduanya.” (HR. Abu Daud, 1151, Dinukil Tirmizi dari Bukhori bahwa beliau menshahihkan hadits ini. Silahkan lihat kitab Tartibul Ilal Al-Kabir, 154 dihasankan oleh An-Nawawi di kitab Al-Khulashah, 2/831. Dishahihkan Al-Albany dalam shahih Abu Dawud)
Dari Kabir bin Abdullah dari ayahnya dari kakeknya
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْعِيدَيْنِ فِي الْأُولَى سَبْعًا قَبْلَ الْقِرَاءَةِ ، وَفِي الْآخِرَةِ خَمْسًا قَبْلَ الْقِرَاءَةِ (رواه الترمذي 536)
“Sesungguhnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam bertakbir pada dua hari raya. Di rakaat pertama tujuh (kali) sebelum membaca. Dan di rakaat lainnya lima kali sebelum membaca.” (HR. Tirmizi, 536)
Di bab ini ada dari Aisyah, Ibnu Umar, Abdullah bin Amr, hadits kakeknya Katsir adalah hadits hasan namanya adalah Amr bin Auf Al-Muzani. Dan (hadits) ini paling bagus diriwayatkan dalam bab ini dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam.
Tirmizi menukil dari Bukhori rahimahullah perkataannya dengan mengatakan, “Dalam bab ini tidak ada yang paling shoheh dibandingkan hadits ini. Dan dengan ini saya berpendapat.”
(Tartibul Ilal Al-Kabir, 153)
Yang mengambil hadits ini mayoritas ahli ilmu dan telah banyak diamalkan oleh mayoritas shahabat dan para tabiin.
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Madzhab kami adalah pada rakaat pertama, tujuh (kali) dan rakaat kedua lima (kali). Diceritakan Khatabi dalam Kitab Ma’alim As-Sunan dari kebanyakan para ulama. Diceritakan pemilih Al-Hawi dari kebanyakan para shahabat dan tabiin.
Diceritakan dari Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Abu Said Al-Khudri, Yahya Al-Anshari, Zuhri, Malik, Auza’i, Ahmad, Ishaq. Diceritakan oleh Al-Mahamili dari Abu Bakar As-Siddiq, Umar, Ali, Zaid bin Tsabit, dan Aisyah radhiallahu’anhum. Diceritakan oleh Al-‘Abdari juga dari Laits, Abu Yusuf dan Dawud.
(Al-Majmu, 5/24-25)
Kedua,
Adapun hadits marfu (sampai kepada Nabi) yang berbeda dengan hadits tadi. Diantaranya hadits yang disebutkan oleh penanya. Kebanyakan para ulama melemahkannya, diantara dengan alasan berikut,
1.Di dalamnya ada Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban. Imam Ahmad berkomentar, hadits-haditsnya munkar. Beliau mengatakan, “Haditsnya tidak kuat.” Ibnu Main dalam riwayat mengatakan, “Lemah.” An-Nasa’i mengatakan, “Lemah.” Dan dikuatkan oleh Abu Hatim. Ibnu Main mengomentarinya, “Tidak apa-apa.” Silahkan lihat kitab Tahdzibu At-Tahdzib, 6/151
2.Di dalamnya ada Abu Aisyah (orang dekatnya) Abu Hurairah adalah tidak dikenal kondisinya. Hal itu dikatakan oleh Ibnu Hazm, Ibnu Al-Qatan, Ad-Dzahabi sebagaimana di kitab Bayanul Wahmi, 5/44. Dan di Mizanul I’tidal, 4/543.
3.Riwayat ini berbeda dengan riwayat yang lebih dikenal dan lebih kuat. Abu Musa dan Huzaifah ketika menyebutkan takbir Id empat kali dari Ibnu Mas’ud, tidak ada penukilan keduanya dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam.
Al-Baihaqi rahimahullah mengatakan, “Perawi hadits ini telah menyalahi dua poin, salah satunya, dalam masalah riwayat ini kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Kedua, pada jawaban Abu Musa.
Yang masyhur adalah bahwa mereka menyandarkan masalahnya kepada Ibnu Mas’ud. Kemudian Ibnu Mas’ud memberi fatwa seperti itu dan tidak menyandarkannya kepada Nabi sallallahu alaihi wa sallam.
Begitu juga diriwayatkan oleh Abu Ishaq As-Subai’i dari Abdullah bin Musa atau Ibnu Abu Musa, bahwa Said bin Ash mengirim utusannya kepada Ibnu Mas’ud, Huzaifah dan Abu Musa untuk menanyakan takbir di hari raya. Maka mereka menyandarkan masalahnya kepada Ibnu Mas’ud dengan mengatakan, “Takbirnya empat kali sebelum membaca surat, kemudian baru membaca surat. Kalau telah selesai (membaca surat) maka takbirlah untuk ruku. Kemudian pada rakaat kedua anda baca surat. Kalau selesai anda takbir empat kali.
Abdurrahman adalah Ibnu Tsabit bin Tsauban, dilemahkan oleh Yahya bin Main. Beliau mengatakan, “Dahulu dia orang yang sholeh.” Diriwayatkan oleh An-Nukman bin Munzir dari Makhul dari utusan Abu Musa dan Huzaifah dari Rasul sallallahu’alaihi wa sallam. Tanpa menyebutkan nama utasan. Dia berkata, ‘Selain dari takbir iftitah dan rukuk.’
(As-Sunan Al-Kubro, 3/289)
Al-Khattabi rahimahullah berkata, ” Abu Daud meriwayatkan dalam bab ini hadits lemah. Kemudian disebutkan (haditsnya).”
(Ma’alim As-Sunan, 1/251)
Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, ‘Tidak sah.’ (Al-Muhallah, 5/84).
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, ‘Lemah.’ (Al-Mughni, 3/270).
An-Nawawi rahimahullah berkata, ‘Haditsnya lemah.’ (Al-Majmu, 5/25)
Dilemahkan oleh Ibnu Abdul Hadi dalam kitab Tanqihu At-Tahqiq, 2/93
Hadits lainnya dari salah seorang shabahat Nabi sallallahu alaihi wa sallam, dia berkata:
صَلَّى بِنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عِيدٍ , فَكَبَّرَ أَرْبَعًا , وَأَرْبَعًا , ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ حِينَ انْصَرَفَ , قَالَ: لَا تَنْسَوْا , كَتَكْبِيرِ الْجَنَائِزِ , وَأَشَارَ بِأَصَابِعِهِ , وَقَبَضَ إِبْهَامَهُ (رواه الطحاوي في “شرح معاني الآثار 4/345)
“Nabi sallalahu alaihi wa sallam shalat menjadi imam kami pada hari raya. Kemudian (beliau) takbir empat kali-empat kali. Kemudian beliau menghadapkan wajahnya kepada kami ketika selesai. lalu mengatakan, “Jangan lupa seperti takbir jenazah.’ Sambil beliau memberikan isyarat dengan telunjukkan dan menggenggam ibu jarinya.” (HR. Thahawi dalam kitab Syarh Ma’alim Al-Atsar, 4/345)
Berkata, Ali bin Abdurrahman dan Yahya bin Utsman telah memberitahukan kepada kami, keduanya berkata, ‘Kami telah diberitahukan oleh Abdullah bin Yusuf dari Yahya bin Hamzah. Berkata, saya diberitahukan oleh Wadhin bin ‘Atho’ bahwa AL-Qosim Abu Abdurrahman memberitahukan kepadanya. Beliau berkata, “Saya diberitahukan dari sebagian shahabat Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam berkata…” Kemudian disebutkan (haditsnya).
Ath-Thahawi rahimahullah kemudian mengatakan, ‘Hadits ini sanadnya hasan.’ Abdullah bin Yusuf, Yahya bin Hamzah, Waddin bin AL-Qosim kesemuanya ahli riwayat dan dikenal periwayatannya sah. Tidak seperti yang telah kami riwayatkan atsar pertama. Kalau dalam bab ini lewat jalan sanad yang shahih maka diambil. Karena hal ini lebih layak untuk diambil dari yang menyelisihinya.”
Dan syekh Al-Albany rahimahullah menyetujui hal ini dalam kitabnya ‘As-Silsilah As-Shohehah, 2997.
Terkecuali bahwa Widdin bin Atha, meskipun Ibnu Ma’in dan Ahmad mengomentarai, “Tidak mengapa. Sebagian ahli ilmu telah membicarakannya.” Dari Al-Walid bin Muslim beliau mengatakan, ‘Dahulu beliau pandai berkhutbah, akan tetapi dalam hadits tidak ada. Muhammad bin Sa’d berkata, ‘Dahulu dia lemah dalam hadits. Al-Juzjani mengatakan, ‘Lembek haditsnya (wahin). Abu Hatim berkata, ‘Dikenal dan diinkari. Ibrohim bin Ishak Al-Harbi berkata, ‘Yang lainnya lebih kuat dari dia. Abdul Baqi bin Qoni’ berkata, ‘Lemah. Silahkan melihat Tahdzibu At-Tahdzib, 11/121.
Dengan demikian, maka hadits yang didalamnya ada takbir tujuh kali di rakaat pertama dan lima kali di rakaat kedua lebih banyak dan lebih kuat. Maka ia lebih layak untuk diambil. Apalagi mayoritas shahabat dan para fuqoha telah mengamalkannya.
Al-Baihaqi rahimahullah berkata, “Hadits yang disandarkan kepada Nabi dan telah diamalkan oleh kalangan umat Islam lebih layak untuk diikuti.”
(As-Sunan Al-Kubra, 3/291)
An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Para rawi yang menjadi pendapat kami itu lebih banyak, lebih hafal dan lebih kuat disertai bersama mereka ada tambahan. Wallahu’alam.”
(Al-Majmu, 5/25)
Terdapat perkataan Imam Bukhari rahimahullah tentang hadits takbir tujuh kali di rakaat pertama dan lima kali di rakaat ke dua. Beliau mengatakan bahwa hal itu paling shahih dalam bab ini.
Ketiga,
Telah ada ketetapan dari Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu bahwa beliau takbir di rakaat pertama empat kali dan di rakaat kedua empat kali. Dan diriwayatkan dari shahabat selain itu. silahkan lihat kitab (Mushanaf Ibnu Abi Syaibah, 2/78-81)
Kesimpulannya, maka masalah ini termasuk masalah ijtihadiyah. Yang mana setiap orang Islam melaksanakan sesuai dengan apa yang dilihat kuat, dan tidak boleh mengingkari orang yang berbeda.
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,
“Jika ada yang berbeda sehingga menjadikan yang rakaat pertama dan kedua lima kali (takbir) atau tujuh kali pada rakaat pertama dan kedua. Sesuai apa yang ada dari shahabat. Maka Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, ‘Para shahabat Nabi sallallahu’alaihi wa sallam berbeda dalam takbir, dan semuanya dibolehkan. Yakni Imam Ahmad melihat bahwa masalah ini luas. Kalau seseorang bertakbir selain dari ini yang ada dari para shahabat, maka hal itu tidak mengapa. Ini adalah madzhab Imam Ahmad rahimahullah itu sendiri. Beliau melihat kalau ulama salaf berbeda pada sesuatu, dan disana tidak ada nash yang tegas. Maka semuanya itu diperbolehkan. Karena beliau rahimahullah mengagungkan dan menghormati pendapat para shahabat. Maka beliau mengatakan, ‘Kalau disana tidak ada nash tegas yang melarang dari salah satu pendapat. Maka masalah ini luas. Tidak diragukan lagu, metode yang dilakukan oleh Imam Ahmad rahimahullah adalah yang terbaik untuk menyatukan umat dan menggabungkan kalimatnya.
Karena, ada sebagian orang yang menjadikan perbedaan pendapat pada masalah yang masih dibolehkan untuk berijtihad menjadi sebab terjadinya perbecahan dan pertikaian. Bahkan dia menyalahkan saudaranya pada suatu masalah yang mungkin dia sendiri yang salah. Ini adalah fitnah yang marak pada zaman sekarang ini. Padahal, sekarang ini ada harapan baik berupa kebangkitan umat terutama para pemuda, namun terkadang mereka sendiri merusak kebangkitan ini berupa sikap saling mencelah hingga lahirnya perpecahan ini. Dimana masing-masing kalau ada saudaranya yang berbeda dengnnya pada masalah ijtihadiyah yang disitu tidak ada nash tegas, dia menjauhinya, menghina dan diguncingkannya. Fithna seperti ini jika terjadi, maka yang gembira adalah musuh dari kebangkitan ini. Karena mereka mengatakan, “Kami telah menyiram dengan dakwah orang lain.” Semoga Allah menjadikan pertikaian diantara mereka. Sampai sebagian orang membenci saudaranya seagama melebihi dari kebenciannya kepada orang fasik na’uzubillah. Tidak diragukan lagi ini, sangat berbahaya.
Oleh karena itu, pencari ilmu agar mengetahui bahaya ini kepada kita semuanya. Apakah telah datang kepada anda wahyu dari Allah bahwa pendapat anda itu benar? Kalau tidak ada wahyu bahwa pendapat anda itu benar, terus apa yang dia ketahui? Bisa jadi pendapat shahabat itu benar sementara pendapat dia salah. Dan ini kenyataannya. Sekarang tidak ada seorang pun mendapatkan wahyu.
Maka Kitab (Al-Qur’an) dan Sunnah ada diantara kita. Kalau masalahnya masih dalam ranah ijtihad, maka sebaiknya dia memberikan uzur kepada saudaranya apa yang diijtihadinya. Tidak mengapa ada diskusi bermanfaat lagi tenang diantara ikhwah. Saya sarankan lebih baik berdiskusi diantara orang yang berbeda tanpa kehadiran pihak ketiga. Karena pihak ketiga terkadang terbebani pada dirinya tidak seperti orang yang berdiskusi. Bisa jadi keduanya bisa bersepakat. Akan tetapi pihak ketiga yang hadir contohnya bisa jadi di hati mereka ada sesuatu meskipun telah terjadi kesepakatan. Karena syetan menghembuskan pertikaian diantara mereka. Sehingga cobaan itu akan terus ada.
Maka saya katakan, semoga Allah membalas kepada Imam Ahmad rahimahullah berupa kebaikan atas metode yang bagus ini, “Sesungguhnya ulama salaf ketika mereka berbeda pendapat terhadap sesuatu dan disana tidak ada nash tegas, maka masalahnya adalah luas, semuanya dibolehkan.”
As-Sarh Al-Mumti’, 5/136-138.
Silahkan lihat info tambahan di soal jawab no. 36491.
Wallahu’alam .
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam
Tema-tema Terkait