Unduh
0 / 0
1816406/12/2009

AZAN SECARA JAMA’I (BERSAMA-SAMA), GAMBARAN DAN HUKUMNYA SERTA ADA CATATAN TERHADAP AZAN DALAM MASJID AL-UMAWI

Pertanyaan: 142472

Saya berasal dari Yordan. Dahulu saya pernah berkunjung ke Suria, kemudian saya menghadiri shalat Jumat di Masjid Bani Umayyah Al-Kabir (Masjid Umawi). Sebelum shalat dilakukan, ada beberapa orang yang mengalunkan puji-pujian terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, kemudian ketika datang waktu azan; Mereka mengumandangkan azan secara bersama (sejumlah mereka melantunkan azan secara bersamaan). Lalu setelah azan, mereka bershalawat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dan banyak melantunkan puji-pujian. Ketika datang waktu iqamah shalat, mereka mengumandangkan iqamah secara bersamaan lagi. Mereka membaca kalimat iqamah sebanyak dua kali, misalnya; Allahu Akbar, Allahu Akbar, Asyhadu Allaa ilaaha Illallahu, Asyhadu Allaa ilaaha Illallah. Setelah imam membaca surat Al-Fatihah, dia membaca surat pendek, akan tetapi dia membaca sepertiga bagian pertama dengan suara rendah, lalu sepertiga kedua dengan suara sedikit keras, dan sepertiga terakhir dengan suara yang lantang, tapi tetap memelihara tajwid dan tartil. Bagaimana kebenaran perbuatan tersebut? Baarokallah fiikum.

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Pertama: Azan merupakan ibadah, dan ibadah
asalnya adalah terlarang kecuali ada dalilnya. Tidak diperkenankan seorang
pun menambah atau menguranginya. Barangsiapa yang melakukan hal itu, maka
dia telah terjerumus dalam bid’ah. Apakah dilakukan dipermulaan atau diakhir
azan, baik dengan  tambahan Al-Qur’an ataupun shalawat kepada Nabi
sallallahu’alaihi wa sallam. Karena azan yang sesuai dengan syariat dimulai
dengan lafaz ‘Allahu Akbar Allahu Akbar’ dan diakhiri dengan lafaz ‘Lailaha
illallahu’. Begitulah sebagaimana yang dilihat oleh shahabat yang mulia;
Abdullah bin Zaid dalam tidurnya. Kemudian hal itu ditetapkan oleh Nabi
sallallahu’alaihi wa sallam dan disyariatkan untuk umatnya. Hal itu
merupakan syariat Allah hingga akhir dunia, tanpa ditambah dan dikurang.

Ulama yang tergabung dalam Lajnah Ad-Daimah
ditanya: “Sebagian muazin, ketika masuk waktu azan Fajar, sebelum memulai
azan mereka memanggil di menara dengan mengulang-ulang dua atau tiga kali
ucapan ‘Mari menunaikan shalat’ atau ‘Ash-shalah’ kemudian (baru) memulai
azan. Pertanyaannya, apakah hal itu dibiarkan saja atau diingkari?

Mereka menjawab: “Tidak tesembunyi lagi bahwa
agama dibangun atas ittiba wal iqtida (mengikuti meneladani petunjuk Nabi
shallallahu alaihi wa sallam) bukan dengan ibtida wal ihdats
(mengarang-ngarang dan mengada-ada dalam agama). Hal itu telah dikuatkan
dalam sabdanya sallallahu’alaihi wa sallam “Barangsiapa yang membuat perkara
dalam perkara kami ini (agama) yang tidak ada di dalamnya, maka itu
tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalama redaksi (yang lain) “Barangsiapa
yang beramal suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami, maka itu
tertolak.” (HR. Muslim). Juga sabda beliau sallallahu’alaihi wa sallam;
“Hendaklah kalian menjauhi perkara-perkara yang baru (dalam agama), karena
semua yang baru (dalam agama) itu bid’ah.” (HR. Abu Daud).

Sebagaiamana umum diketahui bahwa azan yang
disyariatkan adalah tujuh belas kata dalam shalat Fajar dan lima belas kata
dalam shalat-shalat lain. Kalau ditambah dari apa yang telah ditetapkan
agama, baik sebelum memulai atau setelahnya, maka tambahan ini termasuk
bid’ah. Harus diinkari dan mengingkari orang yang membawanya. Kalimat yang
terkandung dalam azan lebih menyentuh  dan menyadarkan dibandingkan dengan
kata-kata ini. Yaitu dalam perkataan muazin ‘Hayya alas shalah (mari
menunaikan shalat) dua kali, dan ‘Hayya ‘alal falah’ (mari menuju
keberuntungan)’ dua kali, setelah diingatkan dengan keagungan dan kedudukan
Allah.

Dengan demikian, perbuatan muazin tersebut
yang menambah-nambah bacaan azan sebelum memulainya dengan mengucapkan
‘Lakukanlah shalat’, ‘Ash-Shalah’ atau semisalnya ketika mereka di menara,
selayaknya diingkari. Sebagai upaya memelihara agama dari perkara yang tidak
diajarkan , berupa bid’ah dan hal-hal yang baru (dalam ibadah).

Syekh Abdurrazzaq Afifi, Syekh Abdullah
Ghudayyan, Syekh Abdullah bin Mani.

Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 2/499, 500.
Silakan lihat juga Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah jilid II (2/211).

Kedua: Istilah ‘Azan berjamaah’ secara umum
dapat dipahami menjadi dua hal;

Pertama, sekumpulan muazin melantunkan azan
dalam satu waktu di satu masjid. Dan ini ada dua praktek;

a.Semuanya
melantunkan azan dengan satu suara di satu tempat – sepeti dipelataran
tengah masjid-. Ini tidak diragukan lagi adalah bid’ah munkar tanpa
diperselisihkan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: ‘Para
muazin yang mengumandangkan azan secara bersama-sama dengan muazin yang
resmi para hari Jum’at, seperti di pelataran masjid, maka azan (seperti itu)
tidak disyariatkan menurut kesepakatan para imam. Bahkan hal itu adalah
bid’ah munkar.’ (Al-Fatawa Al-Kubra, 5/324).

Muhammad bin Al-Haj rahimahullah
berkata: “Azan yang mereka lakukan secara bersama-sama dengan satu suara,
merupakan perbuatan bid’ah makruh yang menyalahi sunnah terdahulu, padahal
mengikuti sunnah dalam azan dan perkara lainnya merupakan suatu keharusan.
Bahakn dalam hal azan perkara ini lebih ditekankan karena dia merupakan
syiar agama yang agung.” (Al-Madkhal, 2/242). Beliau, rahimahullah,
menjelaskan panjang lebar dalam mengingkarinya. Silakan membacanya.

Syekh Bakr bin Zaid rahimahullah
berkata; ”Adapun azan jama’i – dahulu disebut dengan istilah ‘Azan Al-Huuq’
atau Al-Azan As-Sultony- yaitu empat orang muazin mengumandangkan satu azan.
Ini terjadi pada Khilafah Hisyam bin Abdul Malik, dan telah dihilangkan oleh
Al-Faruq Al-Awwal di Mesir berdasarkan fatwa Syekh Musthafa Al-Maraghi.
Dahulu azan jama’i juga ada di Masjidil Haram dan di Masjid Nabawi
As-Syarif, hingga akhirnya dihilangkan pada tahun 1400 H. Dan saya telah
mengingkarinya dalam (satu buku khusus) wal hamdulillah rabbil ‘alamin.”
(Tashihud du’a, hal. 376)

b.Masing-masing
muazin mengumandangkan azan dari beberapa sisi masjid yang luas, agar suara
azannya sampai (didengar) luas orang yang tinggal disekitar masjid. Sebagian
kelompok ulama’ memperbolehkannya –seperti Imam Syafi’i rahimahullah- azan
seperti ini apabila dibutuhkan, seperti masjid yang luas sementara rumah
disekitarnya terpencar berjauhan.

Imam Syafi’i rahimahullah
berkata: “Kalau masjidnya besar dan mempunyai banyak muazin, maka tidak
mengapa pada setiap menara ada muazin, dengan mendengarkan (suara azan)
kepada muazin setelahnya dalam satu waktu.” (Al-Umm, 1/84). Jika hal ini
diperlukan, maka azan dengan cara seperti itu dibolehkan. Adapun  pada masa
sekarang, maka tidak diragukan lagi bahwa tuntutan semacam itu sudah tidak
ada lagi. Karena speaker (pengeras suara) dapat menggantikan itu semua,
tanpa perlu adanya muazin atau azan baru.

Kedua, seorang muazin melantunkan azan,
sementara kelompok di belakangnya mengulangi apa yang didengarkannya. 
Metode azan ini kami tidak mengetahui dilakukan di tempat lain selain di
Masji Al-Umawi di Damaskus. Dengan azan seperti ini, mereka telah
mengumpulkan dua cara bid’ah; Mengulangi  azan di belakang azan dari awal
sampai ‘Hayya ‘alash shalah’ kemudian semuanya menyempurnakan dengan satu
suara dua kalimat terakhir dari azan. Metode azan ini berlaku hingga
sekarang. Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah perbuatan bid’ah dan
menyalahi petunjuk serta sunnah Nabi sallallahu’alaihi wa sallam. Perkataan
para ulama yang mulia tentang kewajiban mengikuti syiar azan sudah cukup
untuk menolak hal itu dan menjelaskan bid’ahnya.

Ketiga: Melakukan iqamah shalat secara
bersama-sama (jama’i) juga termasuk bid’ah yang munkar. Penjelasan bahwa
perkara ini termasuk bid’ah dan bagian dari zikir jama’i telah dijelaskan
sebelumnya.  Silakan merujuk kedua pertanyaan no.
10491 dan
105644.

Adapun lafaz iqamah yang anda kutip dari
mereka adalah shahih. Silahkan melihat perincian hal itu dalam soal jawab
no. 111893. Sedangkan mtode
khusus bacaan Imam terhadap surat-surat sebagaimana yang anda sampaikan dari
mereka adalah metode bid’ah yang munkar, tidak boleh dibiarkan.

Kami memohon kepada Allah agar orang-orang
yang bertugas di masjid memiliki jalan yang lurus, dan berperan saham
menghilangkan bid’ah. Semoga Allah memberikan taufiq kepada mereka untuk
menghidupkan sunnah dengan mengajarkan dan menerapkannya.

Wallahu’alam

.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android