Unduh
0 / 0
1549806/06/2011

Kapan Seorang Wali Dikatakan Menolak Pernikahan Sehingga Perwalian Boleh Berpindah Kepada Urutan Sesudahnya Yang Berhak Menjadi Wali.

Pertanyaan: 171588

Sebagian gadis, jika bapaknya menolak laki-laki yang melamarnya sedangkan dia menyukainya, pergi ke Pusat Islam dan mengaku bahwa walinya menolak menikahkannya, maksudnya agar perwalinnya dipindah kepada selainnya, atau pemimpin markas Islam itu yang menikahkannya jika dia tidak memiliki wali yang lain. Kadang kepala markas bersimpati kepadanya dan menikahkannya tanpa meneliti lagi apakah bapaknya mencegahnya atau tidak. Sehingga masalah ini sering menimbulkan problem antara para wali atau antara wali dan suami. Apa hukum dalam masalah ini?

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Seorang wali harus menikahkan wanita yang dibawah
perwaliannya dengan laki-laki yang sepadan yang diridhai puterinya. Jika
tidak, maka dia dianggap sebagai orang yang menolak pernikahan.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Makna ‘adhl’ adalah
mencegah seorang wanita untuk menikah dengan orang yang sepadan jika dia
memintanya dan satu sama lain telah saling menyukai. Apakah sang wanita
meminta mahar sesuai standar yang berlaku di lingkungannya atau kurang dari
itu. Inilah yang menjadi pandangan Imam Syafii, Abu Yusuf dan Muhammad.
Adapun Abu Hanifah berkata, ‘Mereka (wali) boleh mencegah pernikahannya jika
maharnya tidak sesuai standar yang berlaku di masyarakatnya. Jika dia
berminat dengan laki-laki yang sepadan, sedangkan walinya ingin agar dia
menikah dengan selainnya yang sepadan serta tidak mau menikahkannya dengan
orang yang di kehendaki, maka dia tetap dianggap sebagai orang yang menolak
pernikahan. Adapun jika dia ingin menikah dengan orang yang tidak sepadan,
maka sang wali berhak menolak pernikahannya dan tidak dianggap sebagai orang
yang menolak pernikahan.” (Al-Mughni, 9/383)

Menolak pernikahan diharamkan. Berdasarkan firman Allah
Ta’ala,

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ
أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ
ذَلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ ذَلِكُمْ أَزْكَى لَكُمْ وَأَطْهَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ
لَا تَعْلَمُونَ (سورة البقرة: 232)

“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa
iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi
dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka
dengan cara yang ma’ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang
beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu
dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” SQ.
Al-Baqarah: 232

Imam Bukhari meriwayatkan (5331) dari Hasan, sesungguhnya
Ma’qil bin Yasar, saudara perempuannya dinikahi oleh seorang laki-laki, lalu
dia mencerainya. Ketika telah habis masa idahnya, mantan suaminya ingin
menikahinya kembali. Maka Ma’qil marah dan berkata kepadanya, “Dia
meninggalkannya ketika dia mampu lalu ingin melamarnya kembali, maka antara
dia dengannya telah terhalang.” Lalu turunlah firman Allah Ta’ala,

وَإِذَا طَلَّقْتُمْ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ)

إِلَى آخِرِ الْآيَةِ فَدَعَاهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَرَأَ عَلَيْهِ فَتَرَكَ الْحَمِيَّةَ وَاسْتَقَادَ
لِأَمْرِ اللَّهِ .

“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa
iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi
dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka
dengan cara yang ma’ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang
beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu
dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” SQ.
Al-Baqarah: 232

Kemudian Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam memanggilnya
dan membacakan (ayat ini) kepadanya. Kemudian dia meninggalkan fanatisme dan
melaksanakan perintah Allah.

Karena itu, tidak dibolehkan bagi wali wanita untuk
mencegahnya menikah dengan orang yang sepadan dengannya dan dia ridha
kepadanya.

Asalnya, seorang wali berusaha mendatangkan kebaikan bagi
orang yang diwalikannya. Boleh jadi dia menolak orang yang datang melamar
puterinya karena sebab-sebab yang terkait dengan akhlak dan kehormatannya,
atau karena keluarganya, atau karena sebab lainnya. Ketika itu hendaknya dia
menjelaskan sebab penolakannya kepada orang yang melamarnya. Jika sebabnya
logis, maka dia tidak tergolong ‘adhl’ (menolak pernikahan). Tapi jika
penolakannya tanpa sebab atau karena sebab yang tidak dapat diiterima, maka
dia tergolong orang yang menolak pernikahan. Bolah jadi, masalahnya adalah
apakah sebab itu dapat diterima atau tidak dapat diterima terjadi perbedaan
pandangan, karena itu, tidak boleh tergesa-gesa menghukumi wali telah
menolak pernikahan, di sisi lain juga hendaknya berhati-hati, bertanya dan
memastikan sebelum menikahkan puterinya, khususnya jika seorang wanita tidak
memiliki wali yang lain dan pernikahannya akan dilakukan melalui pusat
lembaga Islam.

Karena penting dan besarnya pernikahan serta
dampaknya, dan kemungkinan terjadi kekeliruan dalam menghukumi ‘adhl’
(menghukumi bahwa seorang wali telah menolak pernikahan), sejumlah fuqoha
berpendapat bahwa jika apabila telah terjadi tindakan menolak pernikahan,
maka perwalian tidak berpindah kepada urutan wali sesudahnya, tapi kepada
penguasa (hakim). Sebagian ulama lainnya lagi berpendapat bahwa ‘adhl’ tidak
boleh ditetapkan kecuali telah tiga kali pengulangan.

Disebutkan dalam Al-Maushu’ah Al-Fiqhiah (30/144), “Ahli
fiqih berpendapat bahwa jika telah terjadi tindakan menolak pernikahan dari
seorang wali dan hal itu terbukti oleh hakim, maka hakim memerintahkannya
(wali tersebut) untuk menikahkannya, jika penghalangan tersebut tidak
berdasarkan sebab yang diterima. Jika dia tetap menolak, maka perwalian
pindah kepada selainnya.

Akan tetapi, sejumlah fuqoha berbeda pendapat tentang kepada
siapa perwalian itu pindah. Menurut ulama kalangan mazhab Hanafi, Syafii dan
Maliki, kecuali Ibnu Qasim, juga terdapat riwayat dari Ahmad, bahwa
perwalian itu akan pindah ke penguasa. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu
alaihi wa sallam,

فإن
اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له

“Jika mereka bertikai, maka penguasa adalah wali bagi mereka
yang tidak punya wali.”

Juga karena wali telah melarang secara zalim hak yang
diarahkan kepadanya. Maka penguasa menggantikan posisinya untuk
menghilangkan kezaliman tersebut. Sebagaimana seandainya dia memiliki hutang
dan enggan melunasinya. Pendapat ini diriwayatkan dari Utsman bin Affan
radhiallahu ta’ala dari Syuraih. Akan tetap ulama dalam mazhab Syafii
membatasi ketentuan ‘adhl’ ini apabila telah terulang tiga kali.

Adapun pendapat mazhab di kalangan ulama Hambali adalah bahwa
jika seorang wali terdekat menolak pernikahan, maka perwalian berpindah
kepada wali yang lebih jauh. Hal ini langsung dinyatakan oleh Imam Ahmad,
karena wali terdekat bersedia menikahkan, maka hak perwalian menjadi milik
yang lebih jauh, sebagaimana seandainya wali terdekat gila. Jika seluruh
wali menolaknya, maka hakim yang akan menikahkan.

Adapun sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

السلطان ولي من لا ولي له

“Penguasa adalah wali orang yang tidak punya
wali.”

Hadits ini dipahami apabila seluruh wali menolak
menikahkannya. Karena sabdanya,

فإن
اشتجروا

 “Jika mereka bertikai.”

Menggunakan dhamir (kata ganti) jamak. Ulama kalangan mazhab
Syafii berkata, “Jika penolakannya berulang-ulang dari wali terdekat,
misalnya jika telah berulang tiga kali, maka perwalian berpindah kepada yang
lebih jauh, berdasarkan dilarangnya orang fasik menjadi wali. Karena dengan
penolakan secara berulang-ulang tersebut, dia dianggap fasik.”

Syekh Utsaimin rahimahullah berkata, “Jika seorang wali
menolak menikahkan seorang wanita dengan calon suami yang sepadan dengannya
dalam agama dan akhlaknya, maka perwaliannya berpindah kepada wali
sesudahnya dari kalangan kerabat yang mendapatkan ashabah hingga seterusnya.
Apabila mereka semua menolak, demikian memang biasanya, maka perwalian
berpindah kepada hakim syar’i. Lalu sang wanita itu dinikahkan oleh hakim
syariat. Wajib bagi hakim tersebut, jika telah sampai kepadanya perkara itu
dan dia mengetahui bahwa para wali sang wanita menolak untuk menikahkannya,
karena hakim memiliki perwalian yang bersifat umum selama perwalian yang
bersifat khusus tidak ada.

Para fuqoha rahimahumullah telah menyebutkan bahwa seorang
wali jika berulangkali menolak lamaran seorang pelamar, maka dengan
demikian, wali itu jatuh pada kefasikan dan gugurlah keadilan dan
perwaliannya. Bahkan menurut pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad,
menyatakan bahwa gugur pula kepemimpinannya, maka tidak sah baginya untuk
shalat sebagai imam kaum muslimin. Ini menunjukkan masalah ini sangat
penting. Sebagian orang sebagaimana telah kami singgung sebelumnya menolak
para pelamar yang ingin menikahi wanita yang berada di bawah perwaliannya,
padahal mereka sepadan, akan tetapi, boleh jadi sang gadis malu mendatangi
hakim untuk meminta dinikahi. Ini kenyataan. Karena itu, sang wanita
hendaknya mempertimbangkan antara positif negatifnya. Mana yang paling besar
keburukannya. Tetap tanpa suami dan membiarkan walinya mengaturnya sesuai
seleranya dan hawa nafsunya lalu apabila dia sudah tua dan tak minat, dia
baru memintanya menikahi calon suaminya, ataukah dia datang ke hakim untuk
minta dinikahkan karena hal itu merupakan hak syar’i baginya.

Tak diragukan lagi bahwa pilihan kedua lebih utama, yaitu
mendatangi hakim dan minta dinikahkan, karena hal itu merupakan haknya. Juga
dengan dia mendatangi hakim dan meminta hakim menikahkannya akan
mendatangkan kebaikan baginya dan bagi selainnya, karena orang selain dia
akan melakukan yang sama seperti yang dia lakukan (apabila mengalami hal
yang sama) disamping hal itu akan menjadi pelajaran bagi orang yang zalim
yang telah menzalimi orang yang berada di bawah perwaliannya agar tidak lagi
menolak untuk menikahinya dengan orang yang sepadan. Artinya di dalamnya ada
tiga kebaikan;

-Kebaikan bagi wanita agar tidak
hidup tanpa suami.

-Pencegah para wali dari
perbuatan zalim dan tidak menguasai urusan puteri-puteri mereka atau siapa
saja di bawah perwalian mereka agar tidak seenaknya saja menentukan sesuai
selera mereka.

-Di dalamnya juga terdapat
pengamalan dari perintah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang
bersabda,

إذا
أتاكم من ترضون دينه وخلقه فأنكحوه إلا تفعلوا تكن فتنة في الأرض وفساد كبير

Jika datang kepada kalian orang yang kalian ridhai agama dan
akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika tidak (kalian nikahkan) maka akan
terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.”

Disamping itu, dalam masalah ini adalah masalah khusus, yaitu
terpenuhinya hasrat orang yang hendak menikahi wanita yang mereka dikenal
sebagai orang yang baik agama dan akhlaknya.” (Dikutip dari Fatawa
Islamiyah, 3/148)

Kesimpulan; Tidak dibolehkan
bagi kepala pusat Islam untuk tergesa-gesa dalam menikahkan wanita tersebut
dengan alasan walinya menolak. Akan tetapi, seharusnya dia bertanya telebih
dahulu walinya dan mencari tahu alasannya menolak orang yang datang melamar
puterinya. Jika ternyata dia memiliki alasan yang kuat, maka tidak boleh
bagi walinya untuk menikahinya. Jika terbukti bahwa penolakannya tidak
memiliki sebab yang kuat dan dia tidak memiliki wali selainnya, maka
dibolehkan ketika itu kepala pusat Islam untuk menikahkannya. Khususnya jika
sang wali berulang-ulang melakukan penolakan.

Wallahu a’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android