Unduh
0 / 0
2584321/09/2011

Seorang Wanita Berlepas Diri Dari Suami Pertamanya Tanpa Seizinnya Lalu Dia Menikah Dengan Laki-laki Lain, Kemudian Ia Kembali Lagi Pada Suami Pertamanya

Pertanyaan: 172510

Saya telah menikah sejak 27 tahun yang lalu, kami telah dikaruniai dua anak laki-laki dan seorang cucu perempuan, suami saya banyak berubah, dia sekarang mengkunsumsi narkotika, akhirnya saya mulai menutup diri darinya sedikit demi sedikit. Suatu hari saya sedang browsing di internet untuk mencari solusi dari permasalahan saya, tidak menyangka saya bertemu dengan seseorang yang sedikit faham tentang agama, ia berkata kepada saya bahwa dirinya telah banyak menulis buku-buku agama, ia pun mulai berkomunikasi dengan saya dengan perasaan, perkataannya pun membuat saya takjub hingga akhirnya hubungan kami sampai pada permintaannya agar saya meninggalkan suami saya dan mau menikah dengannya. Saya pun berterus terang pada suami saya dengan semua kejadian tersebut, dan saya memintanya untuk menceraikan saya namun dia menolak. Maka saya terpaksa mengajukan khulu’ dengan menulis surat kepadanya yang isinya bahwa saya telah membebaskan diri saya darinya, saya kabur dari rumah untuk menikah dengan laki-laki lain tersebut, laki-laki tersebut juga selalu memotivasi saya untuk melakukan perbuatan tersebut dan berkata: “Selama suami saya menjadi pecandu (narkotik) maka dia sudah tidak berhak kepada saya, dan saya bebas melakukan apa saja, keputusan khulu’ yang saya ambil adalah keputusan yang benar. Setelah (pernikahan baru) berlalu hanya dua bulan kemudian, ternyata ada ketidakcocokan di antara kami berdua dan ia pun menceraikan saya. Lalu suami pertama saya mengetahui semua apa yang saya alami, ia pun datang dan meminta agar saya mau menerimanya sebagai suaminya yang baru lagi, setelah saya pikir akhirnya saya menerimanya lagi, kami berdua pun kembali lagi sebagai suami istri. Dia meyakinkan saya bahwa tidak perlu mengadakan pesta pernikahan baru lagi, apalagi khulu’ yang dilakukan sebelumnya tidak benar; karena saya tidak memberinya ganti rugi apapun. Kami berdua pun menyetujui kesepakatan ini, namun saya mulai ragu-ragu, apakah kondisi yang kita berdua alami ini sah dan benar atau tidak ?, sesuai dengan syari’at atau tidak ?, kami mohon nasehat anda.

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Khulu’ (tuntutan pihak wanita
untuk bercerai) yang telah anda lakukan dari sisi anda sendiri  adalah batil
yang tidak mempunyai dampak apapun; karena seorang wanita tidak punya kuasa
sendiri untuk mengakhiri akad nikahnya, baik dengan khulu’ atau dengan
talak, sebagaimana juga dia tidak berkuasa untuk mengadakan akad nikah
sendiri, namun seorang wanita boleh mengajukan khulu’ pada suaminya jika ada
sebab yang mengharuskannya untuk melakukan khulu’ , jika suaminya menerima,
maka dialah yang akan menjatuhkan khulu’ atau talak, namun jika dia tidak
menerima, maka pihak wanita berhak mengajukan gugatannya kepada hakim yang
Islami, maka dia yang memutuskan terjadinya khuluk, talak atau tidak.

Maka jika seorang wanita
menikah lagi selain dengan suami pertamanya, sebelum adanya proses
perpisahan yang benar, baik dengan talak, fasakh (pembatalan akad nikah)
atau karena meninggal dunia, maka pernikahannya adalah batil sesuai dengan
ijma’ para ulama. Jika pihak wanita mengetahui kebatilan pernikahannya
dengan suami keduanya, maka ia telah melakukan zina dengannya, maka wajib
ditegakkannya hukuman had bagi dirinya dan suaminya, namun jika dia tidak
mengetahui bahwa pernikahan yang kedua adalah batil atau dia mengira bahwa
khulu’ menjadi haknya untuk menentukannya, dan khulu’nya pun dianggap
berlaku, maka dia dimaafkan karena ketidaktahuannya, dan tidak lagi
ditegakkan hukuman had, akan tetapi pernikahan yang kedua itu juga batil,
maka dia pun harus segera berpisah dengan suami keduanya, dia tetap memiliki
masa iddah, kemudian baru kembali lagi kepada suami pertamanya.

Ibnu Qudamah –rahimahullah-
berkata:

“Adapun beberapa pernikahan
yang batil, seperti menikahi wanita yang bersuami atau wanita yang sedang
berada pada masa iddah atau yang serupa dengan itu. Maka jika kedua mempelai
mengetahui mana yang halal dan mana yang haram, maka keduanya termasuk
berbuat zina dan wajib ditegakkannya hukuman had, keturunannya tidak
dinisbahkan kepadanya. Pihak wanitanya tetap mempunyai masa iddah, masa
iddah karena meninggal dunia juga berlaku, wanitanya juga menjalani ihdad
(tidak berhias), semua itu merupakan tindakan preventif bagi pihak wanita”.
( Al Mughni: 7/13)

Disebutkan dalam “al Mausu’ah
al Fiqhiyah” (8/123-124):

“Para ahli fikih bersepakat
tentang kewajiban menjalani masa iddah bagi mempelai wanita, anak-anaknya
pun dinisbahkan kepada laki-laki yang mensetubuhinya, dari hasil pernikahan
yang masih menjadi perdebatan di antara madzhab, seperti pernikahan yang
dilakukan tanpa saksi, atau tanpa adanya wali, pernikahan seorang yang
sedang berihram pada musim haji, pernikahan syighar.

Madzhab Hambali menambahkan:
Masa iddah dan nisbah keturunan tetap berlaku bagi mereka berdua dengan
hanya berkholwat; karena hal itu tetap diakui melalui keputusan hakim yang
serupa dengan pernikahan yang sah”.

Mereka juga bersepakat bahwa
masa iddah dan ditetapkannya keturunan juga berlaku pada pernikahan yang
para ulama berijma’ akan kerusakannya: dengan mensetubuhinya, seperti
menikahi wanita yang masih berada pada masa iddah, menikahi istri orang
lain, atau menikahi mahramnya sendiri, jika terdapat syubhat maka pernikahan
tersebut akan menggugurkan had, seperti karena tidak mengetahui kalau
hukumnya haram; karena hukum asalnya menurut para ahli fikih: “Bahwa setiap
pernikahann yang hukuman had tidak bisa dilakukan, maka anak yang dihasilkan
dinisbahkan kepada orang yang mensetubuhinya”.

Adapun jika tidak ada syubhat
yang menggugurkan hukuman had, seperti bahwa dia mengerti hukumnya haram,
maka anak yang dihasilkan tidak dinisbahkan kepada pelaku yang
mensetubuhinya menurut jumhur ulama.

Demikian juga menurut
sebagian tokoh madzhab Hanafiyah; karena dengan diwajibkannya hukuman had,
maka nasab tidak dinisbahkan. Menurut Abu Hanifah dan sebagian tokoh lain
dari madzhab tersebut, nasab anak tetap dinisbahkan; karena akad nikahnya
sendiri mengandung syubhat.

Baca juga pada al Mausu’ah al
Fiqhiyah: 29/339

Baca juga jawaban soal nomor:
171791

Kesimpulannya:

Bahwa seorang wanita pada
semua kondisi, dia tidak berhak dengan sendirinya berlepas diri dari
suaminya, sebagaimanan yang anda lakukan.

Atas dasar itulah, maka
pernikahan kedua anda dengan laki-laki yang pendusta dan bermain-main
tersebut adalah batil, tidak mengandung ikatan hukum tertentu, maka anda
wajib menjalani masa iddah darinya, sebagaimana seorang wanita yang dicerai
oleh suaminya.

Sebagian ulama berpendapat:
bahwa cukup bagi anda untuk memastikan bahwa rahim anda kosong dengan
ditandai satu kali masa haid. (Syarhul Mumti’: 13/381-383)

Wallahu a’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android