Saya seorang pemuda yang telah menikah semenjak 5 tahun. Dua tahun sebelum menikah, saya pergi umrah bersama ibu bapak. Setelah selesai umrah, kami niat ihram umrah untuk keluarga kami yang telah meninggal dunia. Maka saya putuskan mengumrahkan untuk kakek rahimahullah. Akan tetapi di tengah sai, saya mengalami sanagt letih, karena waktu bulan Ramadan. Karena sangat hausnya sehingga saya tidak mampu menyelesaikan umrah. Lalu saya pulang ke negara saya, dan saya tidak menyangka bahwa saya memiliki suatu kewajiban. Setelah dua tahun, saya menikah. Setelah lima tahun dari pernikahan saya mendengar hukum bahwa barangsiapa yang belum menyempurnakan umrah, maka dia tidak dihalalkan (berhubungan dengan) istrinya. Tolong dijelaskan kepadaku. Terima kasih. Saya telah memutuskan kembali (ke Mekkah) untuk mengganti umrahku setelah sebulan, karena kesibukan saya sekarang dalam bekerja.
Berumrah Untuk Kakeknya Dan Belum Menyempurnkan Sai, Kemudian Kembali Ke Negaranya Lalu Menikah. Apa Yang Seharusnya Dia Lakukan ?
Pertanyaan: 176422
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Pertama,
Barangsiapa yang berumrah dan belum melakukan sai atau belum menyempurnakannya, maka dia masih dalam kondisi ihram. Maka dia harus kembali untuk melakukan sai lalu mencukur rambutnya. Karena sai merupakan slah satu rukun umrah. Tidak sah kecuali dengan melakukannya.
Telah disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 25/14, “Jumhur berpendapat bahwa sai merupakan rukun dalam haji atau umrah. Mereka mengatakan, “Ukuran yang harus terealisasikan dalam sai adalah tujuh putaran antara shafa dan marwah. Berdasarkan perbuatan Nabi sallallahu alaihi wa sallam, dan ijmak umat terdahulu maupun sekarang terkait dengan sai.”
Nawawi rahimahullah mengatakan, “Kalau dia sai dan meyakini bahwa dia telah meninggalkan salah satu putarannya, maka sainya tidak sah.” Syakh Al-Muhadzab (8/98).
Kedua,
Jika kenyataannya seperti yang anda sebutkan, maka umrah anda belum sempurna. Dan anda harus mencopot baju anda dan memakai pakaian ihram. Kemudian memulai sai dari pertama, sementara sai terdahulu tidak terhitung karena adanya jeda yang meniadakan kesinambungan. Telah ada dalam kitab ‘Kassyaful Qana’ (2/487): “Disyaratkan dalam sai niat berdasarkan hadits, "Sesungguhnya amalan itu tergantung niat." Dan kesinambungan dianalogikan dengan thawaf. Hal itu dikatakan oleh Al-Qadhi.” Silahkan lihat ‘As-Syarhu Al-Mumti’, 7/275.
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya tentang seseorang yang menunaikan umrah, akan tetapi sainya kurang satu putaran, apa yang seharusnya dia lakukan?
Maka beliau menjawab, “Orang ini senantiasa dalam ihramnya, dia harus melepas pakaiannya dan menjauhi semua larangan ihram. Memakai pakaian ihram dari negara yang dia tinggal secara langsung. Kemudian pergi ke Mekkah untuk melakukan sai baru. Karena dia sampai sekarang dalam kondisi umrah.” (Majmu Al-Fatawa, 22/432)
Ketiga,
Apa yang terjadi dari penanya yang telah melakukan larangan-larangan ihram disela-sela waktu ini, tidak terkena apa-apa karenan ketidaktahuannya. Tidak ada bedanya antara jimak ataupun larangan lainnya. Akan tetapi ketika dia mengetahu hukum agamnya, maka dilarang melakukan dalam larangan-larangan ihram. Karena dia masih dalam kondisi ihram. Untuk tambahan terkait dengan larangan-larangan ihram, silahkan lihat soal no. 11356 dapat dilihat juga di soal no. 104178.
Keempat,
Diharuskan memperbarui akad nikah setelah selesai umrah. Karena terlaksana masih dalam kondisi ihram. Sedangkan akad nikah tidak sah dalam kondisi ihram. Dinyatakan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 21/17: “Jumhur (ulama) dari kalangan Malikiyah, Syafiiyyah dan Madzhab Hanabilah berpendapat bahwa nikahnya orang dalam kondisi ihram tidak sah. Baik itu suami atau istri atau wali yang melakukan akan nikah terhadap orang yang diwalikan atau wakil yang melakukan akan nikah terhadap orang yang diwakilkannya. Ini merupakan pendapat Umar bin Khattab, Anaknya Abdullah dan Zaid bin Tsabit radhiallahunhum, Said bin Musayyab, Sulaiman bin Yasar, Zuhri, dan Auza’i. berdasarkan sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam:
لا ينكح المحرم ولا ينكح ولا يخطب . وفي رواية: لا يتزوج المحرم ولا يزوج
“Orang ihram tidak boleh menikah, tidak boleh dinikahi dan dipinang.” Dalam redaksi lain ‘Orang dalam kondisi ihram tidak boleh menikah dan tidak boleh dinikahkan.”
Sebagaimana diriwayatkan dari Ali radhiallahu anhu, “Barangsiapa yang menikah dalam kondisi ihram, maka kita permasalahkan istrinya. Dan dari Umar radhaillahu anhu bahwa beliau memisahkan di antara dua orang yang sedang ihram menikah. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Syadab budah Zaid bin Tsabit radhiallahu’anhua, “Bahwa beliau menikah dalam kondisi ihram, maka Zaid bin Tsabit memisahkan keduanya.”
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya tentang orang yang belum menyempurnakan thawaf di Ka’bah atau sai, maka beliau menjawab, “Pertama, mereka berdosa. Kecuali kalau mereka tidak tahu hukumnya, maka mereka tidak berdosa. Kedua, mereka dalam kondisi ihram meskipun telah melepas pakaian ihramnya dan memakai pakaian biasa. Mereka masih dalam kondisi ihram. Maka seorang laki-laki harus melepas bajunya dan memakai baju ihram. Ketiga, mereka diharuskan kembali ke Mekkah untuk menyempurnakan umrahnya. Kalau mereka telah thawaf dan belum sai, maka kami katakan, "Anda tinggal sai. Kalau mereka telah melakukan sebagian thawaf dan keluar. Kami katakan, ulangi thawaf dari awal. Kalau mereka telah melakukan sebagian sai, maka kami katakan, kembali dan mulai sai dari awal. Kalau dia telah menikah, maka akan nikahnya tidak sah. Karena dia masih dalam kondisi ihram, sementara orang ihram tidak sah akad nikahnya. Jika dia telah melakukan akad, maka kami katakan, tahan diri anda, jangan menggauli istri anda sampai anda pergi dan menyempurnakan umrah. Kemudian lakukan akan nikah yang baru.” (Majmu Al-Fatawa, 23/459)
Wallahu’alam .
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam
Tema-tema Terkait