Allah Ta’ala berfirman dalam surat Al Qoshosh dengan Lisan Nabi Syu’aib :
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ (سورة القصص : 27)
“Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.” (QS. Al Qashash: 27).
Terjadi kebiasaan di sebagian masyarakat lslam Asia yang mereka mewajibkan kepada pengantin pria sejumlah harta yang nilainya cukup besar ketika menikahi putri mereka, dan mereka berdalih dengan ayat tersebut diatas !! Malah mereka mengembangkan perkara yang mereka buat sendiri dengan meminta kepada suami dari putri mereka agar berkenan membantu mereka dengan sejumlah uang dari waktu ke waktu (bukan hanya sekali waktu saja), tanpa memperhatikan kondisi keuangannya, dan apabila sang suami menolak maka serta-merta mereka akan mengambil putri mereka dan memita kepada suaminya agar menceraikannya, kemudian mereka mengarang dan menyebarkan cerita bahwasannya dia adalah lelaki yang buruk dan tidak bisa melindungi dan menjaga putri mereka…dan yang lain sebagainya. Dan semua perkara-perkara ini secara umum dan secara global mengarah kepada permasalahan sosial yang membahayakan, seperti terjadinya pembunuhan, perceraian dan berakhir kepada keputusan pengadilan. Dan untuk memberikan solusi atas perselisihan ini maka sang istri menuliskan daftar nama-nama yang patut atas suami untuk memberikan nafkah kepada mereka ( Jika memang ada kelebihan harta bagi suami ). Maka pertama kali yang ditulis adalah suami dan anak-anaknya, lalu kedua orang tuanya, lalu sanak kerabatnya dari jalur ayahnya, baru kemudian keluarga istrinya. Sungguh dia meletakkan keluarga dari istri pada penghujung urut-urutan daftar nama, akan tetapi hal ini tidak membuat sebagian dari mereka bisa menerima! dan mereka mengatakan sesungguhnya syariat tidak membuat urut-urutan seperti ini !!.
Maka apa gerangan nasihat dari anda, dan apa yang dimaksud dengan firman Allah:
على أن تأجرني ثماني حجج
“Atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun….” ??
Hukum Keluarga Dari Istri Mewajibkan Kepada Suami Agar Membayar Harta Benda Untuk Mereka Baik Pada Saat Akad Nikah Atau Setelah Resepsi Pernikahan
Pertanyaan: 182926
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
..
Pemahaman Syariah dibangun di atas sunnah-sunnah yang datang secara mutawatir dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam yang langsung berdialog dan berkomunikasi dengan ummatnya dan membimbing mereka dengan sunnah tadi apa yang terbaik dan membahagiakan mereka, dan bukan didirikan di atas kejadian-kejadian tertentu yang disesuaikan dengan kondisi-kondisi khusus atau syariat-syariat yang hanya sebagian orang saja yang berpegang teguh kepadanya, yang kesemua itu bertentangan dengan dalil-dalil nyata yang terdapat dalam konteks syariat secara umum.
Dan hal inilah yang nampak di hadapan kita bahwasannya ada sekelompok orang yang “Menjadikan mahal nilai mahar” dari kebiasaan mahar pada umumnya. Mereka menyalahi kesemua hadits-hadits Nabi yang menganjurkan agar memberikan kemudahan dan keringanan dalam urusan mahar, dan anjuran kepada para wali agar lebih mementingkan kemaslahatan umum dari pada kemaslahatan pribadi, dan mereka mengambil argumen dengan kisah pernikahannya Musa Alaihis Salaam dengan salah seorang dari putri Nabi Syu’aib, dan firman Allah :
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ (سورة القصص : 27(
“Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik”. (QS. Al Qashash: 27).
Disebutkan dalam “Tafsir as Sa’di” (hal. 614) : “Engkau menjadi pegawaiku atau bekerja kepadaku (selama delapan tahun).” Dan tujuan yang dikehendaki ayat ini – sebagaimana yang ungkapan para ahli fikih – adalah dibolehkannya seorang wali memberikan syarat berupa sesuatu untuk dirinya ketika menikahkan putrinya, sebagimana madzhab Al Hanabilah, dan penjelasannya telah diterangkan dahulu dalam fatwa nomor 2491 .
Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah pernah ditanya :
Apabila seorang wali menikahkan putrinya atau saudara perempuannya dan mensyaratkan sesuatu untuk dirinya ?
Beliau menjawab: Tidak dibolehkan yang demikian selain ayahnya sendiri.
Saya mengatakan: Karena kekuasaan seorang ayah itu mencakup dalam hal harta benda anak-anaknya yang dibolehkan baginya mengambil sekehendaknya.
Beliau mejawab: Benar.
Ishaq berkata: Itulah sebagaimana yang beliau ungkapkan, yaitu selain ayah kandung tidak dibolehkan mensyaratkan sesuatu untuk dirinya.” Demikian dinukil dari ‘Masalah-masalah Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaihi’ (4/1527).
Berdasarkan hal itu, maka telah disebutkan prinsip kita bahwasannya kita menguatkan (membenarkan) Madzhab Syafi’iyyah yang berpendapat tentang tidak dibolehkannya seorang ayah atau wali dan lainnya mensyaratkan sesuatu untuk dirinya, dan yang demikian itu terdapat dalam fatwa no. 140036.
Dan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam kitab ‘Al Mushannif’ (3/327) mengatakan: “Telah menceritakan kepada kami Isa bin Yunus, dari al Auza’i bahwasannya seorang lelaki menikahkan putrinya dengan mahar sebesar seribu dinar, dan mensyaratkan untuk dirinya seribu dinar, lalu Umar bin Abdul Aziz memutuskan bagi putrinya tersebut dua ribu dinar tanpa diberikan kepada ayahnya.”
Dan bagi yang berprinsip mengambil pendapat Al Hanabilah, maka hukum dibolehkannya di sini bukan berarti harus merubah Sunnah nabawiyyah yang menganjurkan kemudahan dalam urusan mahar serta menjauhi menjadikan sulit dan mahalnya harga sebuah mahar, maka sesungguhnya sunnah Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam tetap sebagai acuan yang asli, dan tidak bertentangan dengan salah satu kejadian tertentu yang terjadi pada syari’at- syari’at Nabi-nabi terdahulu yang masih membutuhkan pengejah wantahan, dan untuk mengetahui dalil-dalil yang menerangkan akan anjuran menjadikan ringan dan murahnya sebuah mahar harap bisa dilihat dalam fatwa-fatwa no. 10525 dan 12572.
Terlebih lagi jika dari kalangan keluarga istri menuntut kepada suami agar menafkahi mereka semuanya, atau memberikan bantuan berupa uang atau harta benda lain dengan cara yang sedikit memaksa atau dengan cara-cara yang sedikit malu-malu, kesemua ini merupakan bagian dari hal yang haram dan merupakan harta benda yang haram yang Allah dan Utusan-Nya mengharamkannya, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ (سورة النساء: 29)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (QS. An Nisaa’ / 29).
Hadits riwayat Muslim ( 1218 ) dari hadits Jabir bin Abdullah Radliyallahu Anhuma, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda :
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا ، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا ، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا (رواه مسلم، رقم 1218)
“Sesungguhnya darah dan harta benda kalian haram atas kalian, sebagaimana diharamkannya hari kalian saat ini, dalam bulan kalian ini, dan di negara kalian ini ”
Bahkan para Ulama Fikih Hanifiyyah menganggap apa yang diambil dengan pola mewajibkan semacam ini merupakan kejahatan, sesuatu yang menyakitkan dan suap yang diharamkan, sebagaimana disebutkan dalam kitab Raudhul Mukhtar 3/156:
“Jika saudara lelakinya enggan untuk memberikannya atau yang semacam itu sehingga dia mengambil sesuatu dari mahar, demikian pula kalau dia enggan dan menolak untuk menolak menikahkannya, maka jadilah sang suami diliputi keragu-raguan, apakah dia hanya berdiri saja dan tinggal diam atau dia akan binasa ; karena harta benda yang diminta merupakan suap.”
Dan demikianlah tidak ada seorang ulama pun yang mengatakan bahwa nafkah seorang suami kepada keluarga istrinya wajib baginya. Ketidakwajiban tersebut baik dalam tempo waktu yang dekat maupun dalam tempo yang lama, dan menurut asal pensyari’atan tidak ada yang mendukung mereka tentang kewajiban seorang suami agar menafkahi mereka. Tidak terdapat dalam kitab-kitab sunnah, fikih dan peninggalan salaf, maka yang paling benar adalah menghapuskan nama-nama mereka dari daftar yang telah anda susun. Adapun menjadikan nama kerabat istri diakhir urutan daftar maka sesungguhnya pemberian kepada mereka bukanlah hak bagi mereka dan yang demikian merupakan kedzoliman yang nyata.
Adapun berbagi dan berbuat baik kepada sesama makhluk dengan memberikan sedekah makanan bagi yang membutuhkan dan menolong mereka, maka hal ini masuk dalam bab lain di luar konteks yang diperbincangkan oleh mereka, dan tidak ada yang menuntut untuk memenuhi yang demikian itu karena tidak ada kewajiban bagi seseorang terhadap sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Syari’at.
Maka hendaklah mereka yang berusaha untuk merobohkan bahtera rumah tangga anaknya dan saudara-saudara perempuannya bertakwa dan takut kepada Allah, juga mereka yang berupaya untuk menjegal kebahagiaan dan ketentraman hidup bersama suami-suami mereka, dan hendaklah mereka sadar bahwasannya Allah Azza wa Jalla mengawasi dan memantau mereka, dan Dialah yang akan menghisab mereka penghisaban bagi orang-orang yang dzolim yang sama sekali tidak memiliki kasih sayang dan Kelembutan, dan yang tidak bisa memelihara kehormatan dan hak-hak orang lain.
Wallahu A’lam.
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam