Unduh
0 / 0
999720/05/2014

Mahar Yang Diberikan Padanya Berupa Sebidang Tanah Lalu Dia Mewakafkannya Dijalan Allah, Kemudian Dia Diceraikan Sebelum Berhubungan Suami Istri, Bagaimanakah Suaminya Mengambil Separo Dari Mahar Yang Tersisa ?

Pertanyaan: 200128

Apabila seorang istri yang telah dinikahi dengan akad nikah yang sah mengambil maharnya yang berupa sebidang tanah, lalu dia menjadikannya sebagai wakaf di jalan Allah – dan hal ini terjadi sebelum berhubungan suami-istri – maka jika dia diceraikan bagaimanakah solusinya ??

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

.. 

Pertama : 

Apabila seorang perempuan telah mengambil
maharnya sebelum berhubungan suami-istri maka sudah menjadi haknya jika dia
memanfaatkannya, karena sesungguhnya dia telah memilikinya dengan hanya
sekedar telah terucap akad nikah. 

Ibnu Qudamah al Maqdisi berkata,
“ Seorang wanita memiliki maharnya
dengan akad nikah, dan hal ini merupakan pendapat para ulama secara umum.”
Dari kitab Al Mughni ( 10 /121 ). 

Dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah (39 /
172), “Pada dasarnya seorang istri memiliki maharnya baik yang dibayar
secara tunai maupun yang dibayar kemudian dengan sekedar telah
berlangsungnya akad nikah, karena sesungguhnya akad nikah merupakan akad di
mana seorang suami mendapatkan pengganti mahar; dan seorang istri memiliki
apa yang diberikan secara sempurna sebagaimana jual beli. Akan tetapi
kepemilikan ini sewaktu-waktu dihadapkan pada pembatalan baik secara
keseluruhan maupun sebagiannya selama tidak ada hal-hal yang mengikat mahar
tersebut atau menetapkannya ”. 

Kedua :

Wakaf merupakan akad kelaziman yang tidak
dibolehkan diminta kembali atau dibatalkan. Terdapat dalam kitab Al Mausu’ah
Al Fiqhiyyah (44/119), “Jumhur ulama’ fiqih; Al Malikiyyah, As Syafi’iyyah,
Al Hanabilah, Abu Yusuf dan Muhammad dari Al Hanafiyyah berpendapat dalam
satu Madzhab, bahwa sesungguhnya wakaf itu selama bersumber dari seseorang
yang dia memiliki kelayakan dan kapabilitas untuk mengatur hartanya dan
sempurna segala persyaratannya maka menjadi sebuah kelaziman, dan menjadi
terputuslah hak-hak orang yang berwakaf dalam mengatur sesuatu yang
diwakafkan dengan tindakan campur tangan apapun yang akan mengganggu tujuan
wakaf.”

Maka barang-barang yang sudah diwakafkan
dilarang untuk dijual, dihibahkan dan diwariskan ; dan yang demikian itu
sesuai dengan sabda Nabi Shallallahu alaihi Wasallam kepada Umar bin
Khatthab Radliyallahu Anhu : 

تَصَدَّقْ
بِأَصْلِهِ ، وَلاَ يُبَاعُ وَلاَ يُوهَبُ وَلاَ يُورَثُ

“Bersedakahlah dengan asal – harta yang
diwakafkan – nya, tidak
di jual, tidak
dihibahkan dan tidak
pula diwariskan.” 

Karena sesungguhnya wakaf merupakan tabarru (sumbangan)
atau sedekah yang dilarang untuk dijual, dihibahkan dan diwariskan maka 
menjadi sebuah kepatutan dengan sekedar sighot atau ungkapan yang
dilontarkan oleh orang yang mewakafkan sebagaimana ungkapan orang yang
memerdekakan budak ”. 

Dan bisa dilihat jawaban soal nomer (
13720 ). 

Ketiga :

Apabila seorang suami menceraikan istrinya
sebelum bermesraan dan berhubungan badan dengannya, maka dia dapat mengambil
kembali separo dari harta yang diberikan kepada istrinya saat akad nikah
sebagaimana kesepakatan para ulama’ ; dan karena Firman Allah Ta’ala :  

وَإِنْ

طَلَّقْتُمُوهُنَّ

مِنْ

قَبْلِ

أَنْ

تَمَسُّوهُنَّ

وَقَدْ

فَرَضْتُمْ

لَهُنَّ

فَرِيضَةً

فَنِصْفُ

مَا

فَرَضْتُمْ

إِلَّا

أَنْ

يَعْفُونَ

أَوْ

يَعْفُوَ

الَّذِي

بِيَدِهِ

عُقْدَةُ

النِّكَاحِ

وَأَنْ

تَعْفُوا

أَقْرَبُ

لِلتَّقْوَى

وَلَا

تَنْسَوُا

الْفَضْلَ

بَيْنَكُمْ

إِنَّ

اللَّهَ

بِمَا

تَعْمَلُونَ

بَصِيرٌ (سورة البقرة: 237)

“Dan jika kamu menceraikan istri-istrimu
sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah
menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu
tentukan itu, kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh
orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada
takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Baqarah: 237) 

Dan apabila sang istri telah membelanjakan
atau memanfaatkan mahar yang telah diberikan, baik dengan menjualnya,
mewakafkannya, menghibahkannya atau hal-hal lain yang semacamnya yang
melenyapkan kepemilikan, maka baginya mengembalikan separo dari harga mahar
yang disebutkan pada saat akad nikah; karena mustahil dia mengembalikan
persisi seperti harta yang telah diberikan. 

Imam Nawawi Rahimahullah berkata, “Dan
apabila seorang istri telah hilang kepemilikannya  dari harta mahar baik
dengan menjualnya, menghibahkannya atau dipergunakannya untuk memerdekakan
budak, maka sang suami tidak berhak membatalkan tindakan yang telah
dilakukan oleh istrinya hanya karena dia menceraikannya sebelum menggaulinya,
bahkan harta yang telah dibelanjakan tersebut telah hilang kepemilikannya
seperti kebinasaan, maka sebagai gantinya mahar yang telah diberikan
dikembalikan kepada suami setengahnya dan hal ini disesuaikan dengan mahar
yang berlaku dilingkungan dimana istri tersebut tinggal namun jika tidak
demikian maka dinilai dengan jumlah uang.” Raudlotut Thalibin  (7/ 310). 

Disebutkan dalam kitab  Kassyaful Qina
(5/141), “Dan apabila seorang istri telah membelanjakan maharnya dengan
menjualnya, menghibahkannya, memerdekakan budak atau digadaikan; maka karena
yang demikian itu sang suami dilarang minta di kembalikan setengahnya.
Karena sesungguhnya hal ini merupakan transaksi yang menjadikan berpindahnya
kepemilikan atau bahkan menghalangi pemiliknya untuk memanfaatkannya, maka
dilarang untuk mengembalikan kepada sang suami. 

Maka ditetapkanlah hak suami sebagaimana
dilarang mengembalikannya dengan ukuran harga nominal  jika tidak ada mahar
yang berlaku dilingkungan tersebut, maka dia mengambil setengah dari nilai
mahar yang disebutkan saat akad nikah atau setengah dari nilai mahar yang
disepakati dimasyarakat ” 

Dan berdasarkan apa yang ditanyakan diatas :
maka tanah yang telah diwakafkan ditaksir harganya oleh orang yang
berpengalaman dalam bidang tersebut, kenudian bagi suami setengah dari nilai
harta yang disebutkan saat akad nikah.

Akan tetapi patut bagi sang suami jika
kondisi hidupnya berkelebihan dan kondisi istrinya berkekurangan agar
memaafkan dan menggugurkan haknya, karena yang demikian merupakan berbuat
ihsan kepada istri dan mengangkat kesulitan darinya, dan baginya                        
– suami – pahala dan imbalan dari Allah dengan menggugurkan bagian dari
haknya. Allah Ta’ala berfirman :  

وَإِنْ

طَلَّقْتُمُوهُنَّ

مِنْ

قَبْلِ

أَنْ

تَمَسُّوهُنَّ

وَقَدْ

فَرَضْتُمْ

لَهُنَّ

فَرِيضَةً

فَنِصْفُ

مَا

فَرَضْتُمْ

إِلَّا

أَنْ

يَعْفُونَ

أَوْ

يَعْفُوَ

الَّذِي

بِيَدِهِ

عُقْدَةُ

النِّكَاحِ

وَأَنْ

تَعْفُوا

أَقْرَبُ

لِلتَّقْوَى

وَلَا

تَنْسَوُا

الْفَضْلَ

بَيْنَكُمْ

إِنَّ

اللَّهَ

بِمَا

تَعْمَلُونَ

بَصِيرٌ (سورة البقرة:  
(237

“Dan jika kamu menceraikan istri-istrimu
sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah
menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu
tentukan itu, kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh
orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada
takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al- Baqarah: 237) 

Syaikh As Sa’di Rahimahullah mengungkapkan,
“Kemudian dia berkeinginan untuk memaafkan, dan sesungguhnya barangsiapa
yang memberikan kemaafan maka dia sangat dekat dengan ketakwaannya, karena
wujud ihsan dan kebaikannya yang menuntun dia untuk berlapang dada, dan
karena keberadaan manusia tidak selayaknya dia menghambat dirinya untuk
berbuat ihsan dan yang ma’ruf, dan melupakan keutamaan yang hal itu
merupakan tingkatan yang paling tinggi dalam berinteraksi dan pergaulan
sesama manusia, karena interaksi sesama manusia terdiri dari dua tingkatan :

·Adakalanya keadilan dan
kebijaksanaan yang wajib, yaitu mengambil kewajiban, dan memberikan hal-hal
yang wajib.

·Dan adakalanya berbuat
keutamaan dan kebajikan atau Ihsan, yaitu : memberikan sesuatu yang
bukan merupakan kewajiban dan toleransi dalam hak-hak dan mengekang dari
apa-apa yang bergelora dalam jiwa.

Maka tidak sepatutnya bagi para manusia
melupakan tingkatan ini meskipun hanya disepenggal waktu-waktu, khususnya
bagi siapa saja yang antara anda dan dia ada interaksi, atau berbaur satu
sama lain, maka sesungguhnya Allah Ta’ala akan memberikan balasan bagi
orang-orang yang melakukan kebajikan dengan keutamaan dan kemulyaan ”. 

Dan dengan ini Allah Ta’ala berfirman :

إِنَّ

اللَّهَ

بِمَا

تَعْمَلُونَ

بَصِيرٌ

“Sesungguhnya Allah
Maha melihat dengan apa yang kalian perbuat.”

Dari kitab “ Taisir Al Kariim Ar Rahman Fie
Tafsiri kalami annadimin ” ( 1 / 105 ).

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

answer

Tema-tema Terkait

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android