Kalau seseorang hidup di kota yang banyak bangunan, apakah berbuka ketika matahari terbenam dari pandangan atau menunggu sampai masuk malam?
Apa Maksud Terbenamnya Matahari Yang Dibolehkan Berbuka?
Pertanyaan: 232822
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Pertama:
Syariat telah menjadikan akhir puasa dan permulaan berbuka alamat yang jelas dan nampak. Yaitu terbenanm matahari di belakang ufuk. Ketika matahari telah terbenam maka bagi orang berpuasa dibolehkan untuk berbuka. Berdasarkan firman Ta’ala:
ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ (سورة البقرة: 187)
“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” QS. AL-Baqarah: 187
Permulaan malam dimulai dengan terbenamnya matahari, sebagaimana yang telah dijelaskan di jawaban soal no. 110407.
Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَا هُنَا [يعني : جهة المشرق] ، وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَا هُنَا [يعني : جهة المغرب]، وَغَرَبَتْ الشَّمْسُ : فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ (رواه البخاري، رقم 1954، ومسلم، رقم 1100)
“Ketika telah menyambut malam Dengan demikian dan sini (maksudnya dari arah timur) dan siang telah meninggalkan Dengan demikian dan sini (maksudnya dari arah barat) dan matahari telah terbenam, maka orang berpuasa dibolehkan berbuka.” (HR. Bukhori, no. 1954 dan Muslim, no. 1100).
An-Nawawi rahimahullah mengatakan, ”Puasa selesai dan sempurna dengan terbenamnya matahari menurut Ijma’ (konsensus) umat Islam.” (Al-Majmu Syarh Muhazab, 6/304).
Ibnu Abdul Bar rahimahullah mengatakan, “Siang yang diwajibkan berpuasa adalah dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Ini menurut ijma para ulama islam.” (At-Tamhid, (10/62).
Maksud dengan terbenam adalah terbenam secara sempurna bulatan matahari dan tersembunyi. Tidak dianggap mega kemerahan yang tersisa di ufuk. Ketika bulatan terbenam secara sempurna, maka sudah dihalalkan berbuka.
Al-Hafidz Ibnu Rajab berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa sekedar terbenamnya bulatan (matahari), sudah masuk waktu magrib. Sebagaimana orang berpuasa berbuka dengan hal itu. Dan ini termasuk ijma’ ahli ilmu, diceritakan oleh Ibnu Munzir dan lainnya.
Rekan-rekan kami dari Syafiiyyah dan lainnya mengatakan, “Tidak dianggap mega yang sangat merah di langit setelah terbenamnya bulatan matahari dan tidak terlihat dari pandangan.” (Fathul Bari, 4/352, dengan sedikit diringkas)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Ketika bulatan matahari telah terbenam, maka waktu itu orang berpuasa berbuka, dan telah hilang waktu larangan. Serta tidak berdampak apapun dari sisi hukum yang tersisa di ufuk dari mega yang sangat merah.” (Syarh Umdatul Fiqh, hal. 169)
An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Tidak berpengaruh adanya sinar setelah matahari sempurna terbenam. Akan tetapi langsung dianggap masuk waktu (maksudnya shalat magrib) meskipun masih tersisa (mega merahnya).” (Al-Majmu Syarh Muhazab, 3/29).
Kedua:
Orang berpuasa ketika waktu terbenam (matahari) tidak terlepas dari dua kondisi;
Pertama: Di tempat yang memungkinkan melihat terbenamnya matahari di belakang ufuk. Seperti di padang pasir, di hamparan tanah lapang, di atas gunung, atau di tempat tinggi yang memungkinkan melihat matahari ketika terbenam di ufuk.
Maka dalam kondisi seperti ini, berbuka ketika terbenam secara sempurna bulatan matahari.
An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Yang dianggap adalah terbenamnya seluruh bulatan. Hal itu dapat tampak di padang pasir.” (Al-Majmu’, 3/29).
Kedua: Di tempat yang kesulitan melihat terbenamnya matahari di belakang ufuk. Seperti penduduk kota karena bangunan menghalangi melihat antara dia dengan melihat ufuk. Atau berada di tempat rendah seperti di lembah. Atau adanya gunung yang menghalangi antara dia dengan melihat matahari atau semisal itu.
Dalam kondisi seperti ini, tidak dibolehkan berbuka hanya sekedar terbenamnya matahari dari pandangan. Karena bisa jadi tidak terlihat dari (pandangan) mata akan tetapi belum terbenam disebabkan terhalang di belakang bangunan. Dalam kondisi seperti ini, memungkinkan mengambil dalil terbenamnya dengan hilangnya cahaya yang ada di dinding tinggi. Atau datangnya malam dari arah timur. Bukan maksudnya mulai kegelapan di langit semua, karena hal itu telah terbenam matahari beberapa waktu.
An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Jika tinggal di tengah bangunan dan bebukitan, maka yang menjadi rujukan adalah tidak terlihat sinar mega di dinding dan jika di bebukitan rendah, dilihat kegelapan dari arah timur.” (Al-Majmu, 3/29).
Kata ‘Qullatul Jabal’ adalah gundukan yang atasnya bundar (semacam bebukitan pent). ‘Jamharatul Lughoh, (1/164).
Dalam ‘Fawakih Dawani, (1/168) dikatakan, “Apa yang disebutkan pengarang bahwa waktu magrib adalah terbenamnya matahari, hal itu bagi orang yang (tinggal) di atas gunung atau di tanah lapang. Sementara orang yang berada di belakang gunung, tidak berpatokan dengan terbenamnya matahari, akan tetapi berpatokan munculnya kegelapan dari arah timur. Apabila tampak, maka hal itu sebagai tanda terbenamnya (matahari) sehingga (dibolehkan) shalat dan berbuka.“
Ibnu Daqiqul Id mengatakan, “Tempat itu berbeda, kalau ada penghalang antara orang yang melihat dengan bulatan matahari, tidak cukup dengan tidak terlihatnya bulatan (matahari) dari pandangan mata. Akan tetapi dia melandasi terbenamnya matahari dengan terbitnya malam dari arah timur.” (Ihkamul Ahkam, 1/166).
Al-Khattab mengatakan, “Dan waktu magrib, ketika bulatan matahari telah terbenam, di tempat yang tidak ada gunung. Sementara kalau di tempat terbenan berada di belakang gunung. Maka melihat dari sisi timur. Ketika terbit kegelapan maka hal itu sebagai tanda terbenamnya matahari.” (Mawahib Jalil, 1/392).
Yang menunjukkan hal ini adalah hadits tadi ‘Ketika malam datang Dengan demikian dan sini (maksudnya dari arah timur) dan siang telah meninggalkan Dengan demikian dan sini (maksudnya dari arah barat) dan matahari telah terbenam, maka orang berpuasa sudah boleh berbuka.”
Al-Qurtubi mengatakan, “Salah satu mengandung sisa lainnya, dimana malam tidak datang kecuali siangnya telah hilang. Dan siang tidak hilang kecuali ketika matahari terbenam. Akan tetapi terkadang tidak sama kesaksian titik tepatnya terbenam. Dan menyaksikan datangnya kegelapan sampai yakin hal itu benar-benar terbenam. Sehingga dihalalkan berbuka.” (Ikmal Mua’llim, 4/35).
An-Nawawi mengatakan, “Para ulama mengatakan, ‘Masing-masing dari tiga hal ini mengandung sisi lainnya dan terkait. Sesungguhnya semuanya digabungkan karena terkadang berada di lembah dan semisalnya. Karena terbenamnya matahari tidak dapat disaksikan, maka patokannya adalah datangnya kegelapan dan hilangnya cahaya (siang).” (Syarh Shahih Muslim, 7/209).
Ibnu Daqiq Id mengatakan, “Datang dan hilang keduanya saling terkait, maksudnya datangnya malang dan hilangnya siang. Terkadang salah satu lebih kelihatan (pandangan) mata di sebagian tempat. Sehingga yang nampak bisa sebagai dalil dari yang tidak jelas. Sebagaimana kalau sekiranya arah barat terhalangi pandangan mata dari mendapatkan terbenam (matahari). Sementara sisi timur nampak jelas. Sehingga dapat mengambil dalil dengan datangnya malam untuk terbenamnya matahari.” (Ihkam Ahkam, 2/27).
Dengan demikian maka, tidak dibolehkan bagi orang yang hidup di perkotaan dan tempat-tempat yang terhalangi antara dia dengan pandangan ufuk untuk berbuka hanya sekedar terbenamnya matahari dari pandangan. Bahkan seharusnya memastikan terbenamnya bulatan matahari dari ufuk. Yang sering, kesulitan mengetahui dengan seksama terbenamnya matahari di kota, disebabkan adanya bangunan dan sinar terang. Kebanyakan umat Islam –sekarang- mengambil dalil terkait waktu-waktu shalat dengan takwim (jadwal waktu) yang dikenal. Dan ini tidak mengapa, jika yang melaksanakannya adalah instansi terpercaya dan terakui. Silahkan perhatikan jawaban soal no. 220838, 110407.
Wallahu a’lam .
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam
Tema-tema Terkait