Apa uzur (alasan) dibolehkannya berbuka puasa pada bulan Ramadhan?
Uzur (Alasan) Dibolehkannya Berbuka Puasa pada Bulan Ramadhan
Pertanyaan: 23296
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Segala puji hanya milik Allah semata.
Di antara kemudahan yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya adalah tidak diwajibkan berpuasa kecuali kepada orang yang mampu saja. Dan dibolehkan berbuka puasa dikala ada uzur (alasan) syar’i.
Berikut ini adalah alasan-alasan syar’i dibolehkannya berbuka puasa.
Pertama: Sakit
Sakit adalah kondisi yang menyebabkan kesehatan seseorang hilang.
Ibnu Qudamah berkata: Ijma (konsesus) para ulama mengatakan bahwa berbuka puasa dibolehkan bagi orang sakit.
Dalil konsesus ini adalah firman Allah: “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain." (QS. Al-Baqarah: 184).
Salamah bin Al-Akwa’ radhiallahu’anhu berkata: "Ketika turun ayat ini: "Dan bagi orang-orang yang mampu dia membayar fidyah makan kepada orang miskin" Dahulu bagi orang yang ingin berbuka, dia boleh berbuka (walau tidak ada alasan apa-apa) akan tetapi dia harus menggantikannya dengan fidyah (memberi makanan) sampai turun ayat setelahnya yang menghapus ketentuan tersebut: “Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain." (QS. Al-Baqarah: 185).
Orang sakit yang khawatir bertambah sakit atau menjadi lambat kesembuhannya atau cacatnya salah satu anggota tubuh, maka dia dibolehkan berbuka. Bahkan dia dianjurkan berbuka dan makruh berpuasa karena dapat mengakibatkan bahaya, karena dia wajib melindungi dirinya. Orang yang mengalami sakit parah dibolehkan berbuka. Sementara orang sehat kalau sekedar takut letih, maka dia tidak dibolehkan berbuka jika masih memungkinkannya berpuasa dan dampaknya hanya lelah dan letih.
Kedua: safar (bepergian)
Safar yang diberi keringanan disyaratkan sebagai berikut:
1. Jarak safarnya sejauh yang dibolehkan mengqashar shalat.
2. Tidak ada keinginan dari safarnya untuk menetap bertempat tinggal.
3. Safarnya bukan untuk berbuat maksiat, akan tetapi tujuannya harus benar menurut pendapat Jumhur (kebanyakan ulama). Karena berbuka adalah suatu keringanan dan dispensasi, maka hal itu tidak berhak bagi pelaku maksiat dalam safar yang bertujuan maksiat, seperti safar untuk membegal di jalanan.
Keringan dalam safar tidak berlaku lagi karena dua hal:
Pertama: Ketika musafir kembali pulang ke negaranya (tempat dia menetap)
Kedua: Ketika musafir berniat tinggal seterusnya di tempat tujuan atau dalam jangka waktu tertentu di suatu tempat yang layak ditempati. Maka, ketikia itu, dia menjadi orang yang menetep. Sehingga dia harus menyempurnakan shalat dan berpuasa, tidak boleh berbuka karena hukum safar baginya telah terhenti.
Ketiga: Hamil dan menyusui bagi wanita.
Para ulama fiqih sepakat bahwa wanita hamil dan menyusui dibolehkan berbuka puasa di bulan Ramadhan kalau dia khawatir terhadap diri atau anaknya jatuh sakit, atau dapat membahayakan dan mengancam keselamatan jiwa.
Dalil dibolehkannya berbuka adalah firman Allah: “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain." (QS. Al-Baqarah: 185)
Yang dimaksud sakit disini bukan sekedar sakit. Karena sakit yang tidak membahayakan seseorang yang berpuasa, tidak menjadi sebab dibolehkan berbuka puasa. Disebutkan sakit disini sebagai kinayah (kiasan) tentang kondisi yang dapat membahayakan jika berpuasa. Itulah yang dimaksud sakit disini. Dan pada keduanya (wanita hamil dan menyusui) juga didapatkan kondisi tersebut, karenanya, keduanya termasuk dalam katagori yang mendapatkan dispensasi untuk berbuka.
Di antara dalil dispensasi berbuka untuk keduanya (wanita hamil dan menyusui) adalah hadits Anas bin Malik Al-Ka’by radhiallahu’anhu, sesungguhnya Rasululah sallallahu’alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya Allah menggugurkan puasa dan setengah shalat bagi musafir. Dan Dia juga menggugurkan (kewajiban berpuasa saat itu juga) bagi wanita hamil atau menyusui." Dalam redaksi yang lain: “Dari wanita mengandung dan menyusui."
Keempat: Orang tua renta dan jompo
Termasuk orang tua renta dan jompo adalah: Orang tua yang sudah hilang kekuatannya atau akan memasuki masa jompo. Setiap hari kekuatannya terus berkurang dan tinggal menunggu kematian, orang sakit yang tidak mungkin sembuh, yang tidak ada harapan kesembuhan (secara medis) dan wanita yang tua renta.
Dalil dibolehkannya berbuka dari sisi agama adalah firman Allah: (Dan bagi orang yang tak kuasa berpuasa maka dia membayar fidyah memberi makan kepada orang miskin)
Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma berkata: “Ayat ini tidak dihapus. Ayat ini mencakup orang tua renta laki-laki maupun perempuan yang tidak mampu melaksanakan puasa, sehingga dia memberikan makanan setiap hari untuk orang miskin."
Kelima: Lapar dan haus yang sangat
Siapa yang merasa sangat payah karena lapar atau dahaga yang sangat, maka dia dibolehkan berbuka, makan dan minum sesuai dengan kebutuhan, kemudian dia harus menahan sisa harinya (meneruskap berpuasa). Dimasukkan dalam kategori ini juga ketika akan bertemu dengan musuh. Yakin akan bertemu atau kemungkinan besar akan bertemu musuh seperti ketika di kepung musuh. Seorang prajurit kalau dia yakin atau kemungkinan besar bertemu musuh dan bertempur karena ada musuh di depannya, sementara dia khwatir kalau berpuasa akan membuat fisiknya lemah. Meskipun dia tidak safar, dia dibolehkan berbuka sebelum berperang.
Keenam: Pemaksaan
Paksaan adalalah orang lain memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu tanpa dia inginkan disertai dengan ancaman.
Refrensi:
Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 28/73