Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Pertama:
Dari Bakr bin Khunais, dari Laits bin Abi Sulaim, dari Zaid bin Arthah, dari Abu Umamah berkata: “Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
مَا أَذِنَ اللَّهُ لِعَبْدٍ فِي شَيْءٍ أَفْضَلَ مِنْ رَكْعَتَيْنِ يُصَلِّيهِمَا، وَإِنَّ البِرَّ لَيُذَرُّ عَلَى رَأْسِ العَبْدِ مَا دَامَ فِي صَلَاتِهِ، وَمَا تَقَرَّبَ العِبَادُ إِلَى اللَّهِ بِمِثْلِ مَا خَرَجَ مِنْهُ قَالَ أَبُو النَّضْرِ: يَعْنِي القُرْآنَ
رواه الترمذي (2911) والإمام أحمد في “المسند” 36 / 644
“Tidaklah Allah telah mengizinkan bagi seorang hamba pada sesuatu yang lebih utama dari dua raka’at yang ia kerjakan, dan sungguh kebaikan itu disebarkan di atas kepala seorang hamba selama ia berada di dalam shalat, dan tidaklah para hamba mendekat kepada Allah (lebih baik) seperti apa yang telah keluar darinya, Abu Nadhr berkata: “Yaitu Al Qur’an”. (HR. Tirmidzi: 2911 dan Imam Ahmad di dalam Musnad: 36/644)
Pada sanadnya terdapat Bakr bin Khunais.
Adz Dzahabi –rahimahullah- berkata:
“Bakr bin Khunais al ‘Aabid –ia meriwayatkan- dari Tsabit dan Yazid ar Raqasyi dan ‘Uddah, -ia meriwayatkan- dari Adam dan Thaluth. ‘Uddah ini lemah”. (Al Kasyif: 1/274)
Al Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata:
“Bakr bin Khunais, ia berasal dari Kufah, ahli ibadah tinggal di Baghdad ia jujur namun ia mempunyai beberapa kesalahan”. (Taqriib at Tahdzib: 126)
Tirmidzi berkata setelah hadits tersebut:
“Ini hadits gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari sisi ini, dan Bakr bin Khunais telah dibicarakan oleh Ibnu Mubarak dan beliau tinggalkan di akhir urusannya (tidak mengambil haditsnya lagi pent)”.
Hadits ini telah diriwayatkan dari Zaid bin Arthah, dari Jubair bin Nufair dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagai hadits mursal.
Tirmidzi (2912) telah menyebutkan hadits Jubair bin Nafir ini dengan sanadnya dari Abdurrahman bin Mahdi, dari Mu’awiyah, dari ‘Ala’ bin Harits, dari Zaid bin Arthah, dari Jubair bin Nufair berkata: “Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
إِنَّكُمْ لَنْ تَرْجِعُوا إِلَى اللَّهِ بِأَفْضَلَ مِمَّا خَرَجَ مِنْهُ يَعْنِي القُرْآنَ
“Sungguh kalian tidak akan kembali kepada Allah dengan hal yang lebih utama dari apa yang keluar darinya, yaitu; Al Qur’an”.
Imam Bukhori –rahimahullah- berkata:
“Hadits ini tidak sah karena mursal dan mungqathi’,”. (Kholq ‘Af’aal al ‘Ibaad: 2/263)
Penyebab ia sebagai hadits mursal adalah ‘Ala’ bin Harits karena termasuk orang yang rancu (hafalannya).
Imam Adz Dzahabi –rahimahullah- berkata:
“’Ala’ bin Harits al Hadhrami ad Dimasyqi al Faqiih..
Abu Daud berkata: “Ia terpercaya namun akalnya mengalami perubahan”. (Al Kasyif: 2/103)
Al Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata:
“Al ‘Ala’ bin Harits bin Abdul Warits al Hadhrami, Abu Wahab Ad Dimasyqi, ia orang yang jujur ahli fikih, akan tetapi dituduh (mempunyai pemahaman) Qodariyah dan rancu (hafalannya)”. (Taqriib at Tahdzib: 434)
Syeikh Albani telah menyatakan ia lemah di dalam Silsilah ad Dha’ifah: 4/425
Meskipun haditsnya lemah hanya saja redaksi:
وَمَا تَقَرَّبَ العِبَادُ إِلَى اللَّهِ بِمِثْلِ مَا خَرَجَ مِنْهُ – أي القرآن –
Maknanya benar.
Arti dari Khoroja minhu adalah ia memulai dengannya.
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:
“Generasi dan para imamnya salaf telah bersepakat bahwa kalamullah yang diturunkan ini bukanlah makhluk, dari-Nya dimulai, dan kepada-Nya akan kembali, dan arti dari ucapan mereka: “Minhu Bada’a” yaitu Dzat yang mengucapkannya tidak menciptakannya pada hal selain-Nya” .
Generasi salaf tidak menginginkan bahwa ia (Al Qur’an) ucapan yang terpisah dari dzat-Nya, karena kalam dan sifat-sifat-Nya yang lain tidak terpisah dari Dzat yang disifati, bahkan sifatnya makhluk (saja) tidak terpisah dari mereka dan berpindah kepada orang lain, maka bagaimana jadinya sifatnya Sang Pencipta bisa terpisah dari-Nya dan berpindah kepada orang lain ??.
Oleh karenanya Imam Ahmad berkata:
“Kalamullah itu dari Allah, tidak berbeda dengan-Nya.
Maksud ucapan generasi salaf: “Ilaihi ya’udu” apa yang terdapat di dalam sebuah atsar:
إن القرآن يُسرى به حتى لا يبقى في المصاحف منه حرف ، ولا في القلوب منه آية …
“Sungguh Al Qu’an diperjalankan pada malam hari sampai tidak ada satu huruf pun di dalam mushaf, dan tidak tersisa satu ayatpun di dalam hati…)
Apa yang terdapat di dalam atsar dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, dan para imam dari umat Islam, seperti hadits yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam musnadnya, dan kitab-kitabnya yang diwakilkan di dalam risalahnya, dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwasanya beliau bersabda:
ما تقرب العباد إلى الله بمثل ما خرج منه
“Tidaklah para hamba itu mendekatkan diri kepada Allah sesuai dengan apa yang keluar darinya”.
Yaitu; Al Qur’an
Di dalam redaksi yang lain:
بأحب إليه مما خرج منه
“Dengan yang lebih dicintai dari apa yang keluar darinya”.
Dan ucapan Abu Bakar as Shiddiq pada saat mendengar ucapan Musailamah:
( إن هذا كلام لم يخرج من إِلٍّ ). أي من رَبّ.
“Sungguh ini adalah ucapan yang tidak keluar dari Tuhan”.
Dan ucapan Ibnu Abbas pada saat mendengar orang yang berucap kepada jenazah yang diletakkan di liang lahatnya: “Ya Allah,Tuhannya Al Qur’an, ampunilah dia”, Ibnu Abbas menoleh kepadanya dan berkata:
( مَهْ. القرآن كلام الله ليس بمربوب، منه خرج وإليه يعود )، هذا الكلام معروف عن ابن عباس… ” انتهى من “شرح العقيدة الأصفهانية” (ص 20 – 21).
“Hentikanlah, Al Qur’an adalah kalamullah bukan ciptaan-Nya, dari-Nya keluar dan kepada-Nya akan kembali”.
Ucapan ini sudah dikenal dari Ibnu Abbas. (Syarah Aqidah Al Ashfahaniyah: 20-21)
Membaca Al Qur’an adalah dzikir yang paling mulia.
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:
“Membaca Al Qur’an itu lebih utama dari pada dzikir, sesuai dengan nash, ijma’ dan pandangan orang”.
Nashnya adalah:
Sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
أفضل الكلام بعد القرآن أربع – وهُنَّ من القرآن – سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر
“Ucapan yang paling mulia setelah Al Qur’an ada 4 hal: semua itu berasal dari Al Qur’an: Maha Suci Allah, Segala puji bagi Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah, dan Allah Maha Besar”.
Dan Sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
فضل القرآن على سائر الكلام كفضل الله على خلقه
“Keutamaan Al Qur’an di atas semua kalam seperti karunia Allah kepada makhluk-Nya”.
Ucapan beliau tentang Allah:
من شغله قراءة القرآن عن ذكري ومسألتي أعطيته أفضل ما أعطي السائلين
“Barang siapa yang disibukkan dengan membaca Al Qur’an untuk mengingat dan memohon kepada-Ku, maka Aku akan memberikan kepadanya lebih utama dari apa yang Aku berikan kepada para pemohon”.
Sabda beliau:
ما تقرب العباد إلى الله بمثل ما خرج منه
“Tidaklah para hamba mendekatkan diri kepada Allah sesuai dengan apa yang telah keluar darinya”.
Ucapan orang Arab badui kepada beliau: “Sungguh saya tidak mampu untuk menghafal sedikit pun dari Al Qur’an, maka ajarkanlah kepadaku apa yang akan menjadi pahala di dalam shalatku”, beliau bersabda:
قل: سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر
“Ucapkanlah: Maha Suci Allah, segala puji hanya bagi Allah, Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah, dan Allah Maha Besar”.
Adapun ijma’:
Telah disampaikan (ijma’) oleh sekelompok (para ulama), dan tidak berpengaruh perbedaan dari kalangan ahli ibadah yang bodoh.
Adapun dari sisi pandangan orang:
Bahwa dalam shalat diwajibkan untuk membaca Al Qur’an, jika tidak mampu melakukannya berpindah kepada dzikir. Dzikir itu tidak diterima jika dia mampu membaca Al Qur’an, yang diganti (Qur’an) lebih baik dari penggantinya (Dzikir) dimana tidak boleh dilakukan kecuali ketika tidak mampu mengerjakan yang digantikan”. (Majmu’ al Fatawa: 19/120)
Penting bagi anda untuk membaca jawaban soal nomor: 195274
Kedua:
Hadits tentang tidak sah shalat bagi siapa saja yang tidak membaca surat Al Fatihah, dan tiga ayat setelahnya.
Kami tidak berhenti pada redaksi ini, telah diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy di dalam Al Kamil fii Dhu’afa’ Rijaal (6/55) dengan sanadnya dari Umar bin Yazid Al Madaini dari ‘Atha’ dari Ibnu Umar berkata: “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
لاَ تجزىء فِي الْمَكْتُوبَةِ إلاَّ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وثلاث آيات فصاعدا
“Tidak sah dalam shalat fardhu kecuali dengan surat Al Fatihah dan tiga ayat seterusnya”.
Ia berkata terkait dengan Umar bin Yazid ini: “Hadits mungkar”.
Ibnu al Mundzir telah meriwayatkan dengan mauquf tidak dinisbatkan kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- maka ia meriwayatkan di dalam Al Awsath: 3/101 dengan sanadnya dari Sa’id Al Jurairi dari Abdullah bin Buraidah dari Imron bin Hushain, bahwa Utsman bin Abi al ‘Ash berkata:
لَا تَتِمُّ صَلَاةٌ إِلَّا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ، وَثَلَاثِ آيَاتٍ فَصَاعِدًا
“Tidak sempurna shalat kecuali dengan surat Al Fatihah dan tiga ayat selanjutnya”.
Penting juga dibaca jawaban soal nomor: 6422 dan 97484.
Wallahu A’lam