Apa hukum menelan ludah? Karena saya mendapati kebanyakan orang membuang ludahnya di bulan Ramadhan agar tidak tertelan, terutama setelah berkumur-kumur ketika wudhu. Apa hukumnya jika yang ditelan itu adalah ludah orang lain, misalnya ludah istri? Tolong beri kami fatwa! Semoga Allah memberi Anda balasan yang baik.
Hukum Menelan Ludah Sendiri Atau Ludah Orang Lain
Pertanyaan: 49005
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Pertama,
Syariat Islam dibangun di atas fondasi “kemudahan” dan “menjauhkan kesulitan yang tidak biasa”. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (al-Baqarah: 185).
Allah juga berfirman,
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.” (al-Maidah: 6).
Allah juga berfirman,
وما جعل عليكم في الدين من حرج
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (al-Hajj: 78).
Atas dasar itu, segala hal yang menyulitkan dan biasanya tidak mungkin dihindari maka hal itu tidak mempengaruhi puasa. Di antaranya adalah menelan ludah ketika berpuasa.
Ibnu Qudamah berkata:
Fasal: Apa yang tidak mungkin dihindari, seperti menelan air ludah, maka hal itu tidak membatalkan puasa. Karena menghindari hal itu tidak mungkin dilakukan. Sama halnya dengan menghindari debu di jalan atau butiran gandum. Jika orang yang berpuasa dengan sengaja mengumpulkan air ludahnya kemudian menelannya maka hal itu tidak membatalkan puasanya. Karena air ludah yang mengalir ke perut itu juga berasal dari perut. Artinya, dikumpulkan ataupun tidak, air ludah adalah sama saja. Air ludah yang ditelan dengan sengaja tanpa terlebih dahulu dikumpulkan tidak membatalkan puasa. Demikian pula hukumnya, jika dikumpulkan terlebih dahulu. Dikutip dari “Al-Mughni” (3/16).
Demikian pula hukumnya, jika orang yang berpuasa mengeluarkan lidah yang di atasnya terdapat air ludah kemudian memasukkannya kembali dan menelan apa yang ada di atasnya, maka, menurut pendapat yang paling sahih, itu tidak membatalkan puasa. Karena lidah, sekalipun bolak-balik dijulurkan dan dimasukkan, tidak ada bedanya. Dinukil dari “Hasyiyah al-Qalyubi” (2/73).
Kedua,
Berikut ini adalah yang wajib dilakukan orang yang berpuasa setelah berkumur-kumur:
An-Nawawi, di dalam al-Majmu’ (6/327), berkata: al-Mutawalli dan beberapa ulama yang lain berkata: Orang yang berkumur-kumur pasti menyemburkan air yang dikumurnya melalui bibir. Dan, para ulama sepakat, ia tidak wajib mengelap bibirnya yang basah itu dengan kain atau dengan apapun.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata: tidak wajib menyeka bibir ketika azan fajar, meskipun setelah minum air. Sejauh pengetahuan kami, tidak ada seorang sahabat pun yang jika minum air ketika fajar terbit menyeka bibirnya hingga rasa air itu hilang. Sisa air yang ada di bibir termasuk hal-hal yang dimaklumi. Dikutip dari “al-Mumti’” (6/428).
Orang yang berpendapat wajibnya meludah setelah kumur-kumur tidak mengharuskan orang yang berkumur-kumur untuk meludah lebih dari satu kali setelah menyemburkan air dari mulutnya. Alasan mereka dalam mensyaratkan meludah setelah berkumur-kumur adalah, bercampurnya air bekas kumur-kumur dengan ludah. Ketika menyemburkan air dari mulut, setelah berkumur-kumur, air yang bercampur dengan ludah tersebut tidak keluar. Karena itu harus dikeluarkan bersamaan dengan ludah. Mereka tidak mensyaratkan meludah berkali-kali atau berlebihan. Karena ludah yang tersisa hanyalah lendir yang tidak mungkin dihindari. Lihat: al-Mausu’ah al-Fiqhiyah (28/63).
Namun, jika yang bercampur dengan ludah adalah benda lain yang mungkin bisa dihindari, maka wajib bagi yang berpuasa untuk mengeluarkannya, dan tidak ada masalah dengan aroma atau rasa yang ditinggalkannya. Misalnya saja sisa makanan sahur, serpihan siwak atau darah yang keluar dari gusi. Lihat: soal-jawab nomor 37745, 37937 dan 12597.
Atas dasar itu, tidak ada masalah bagi yang berpuasa di bulan Ramadhan jika banyak meludah. Namun sebaiknya ia tidak menghindari apa yang tidak diperintahkan syariat untuk dihindari, yang justru yang menyebabkan mulut kering, haus, dan menimbulkan kepayahan dalam berpuasa. Atau mendatangkan persoalan, terutama jika mereka berada di tempat umum namun tidak tersedia tempat untuk meludah atau pada saat itu mereka tidak membawa sapu tangan. Terkadang, kebiasaan meludah ini membuat mereka tidak bisa lama-lama duduk di masjid untuk berzikir dan membaca al-Qur’an sehingga mereka melewatkan keutamaan yang semestinya mereka raih di bulan yang mulia ini.
Ketiga,
Adapun yang berkaitan dengan menelan ludah istrinya, Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:
Atau menelan ludah orang lain maka hal itu membatalkan puasa. Karena ia menelan sesuatu yang bukan dari mulutnya. Maka hal ini seperti ia menelan sesuatu selain ludah. Jika dikatakan: Aisyah meriwayatkan bahwa
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُقَبِّلُهَا وَهُوَ صَائِمٌ , وَيَمَصُّ لِسَانَهَا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menciumnya padahal beliau dalam keadaan puasa dan menyedot lidahnya.” Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud 2386.
Maka kami katakan: diriwayatkan pula dari Abu Dawud bahwa ia berkata: sanad hadis ini tidak shahih.
Dalam Dha’if Sunan Abi Dawud, Al-Albani pun mendha’ifkan kata-kata “menyedot lidahnya”. Ibnu Qudamah menarik dua pengertian dari hadis tersebut—andaikata memang hadis tersebut shahih:
Pertama, tidak ada keterkaitan antara dua hal tersebut (mencium dan menyedot lidah). Ia rahimahullah berkata: Bisa jadi, beliau mencium Aisya ketika berpuasa, dan menyedot lidahnya ketika tidak berpuasa.
Kedua, hadis tersebut bukan dalil menelan ludah. Ia rahimahullah berkata: Bisa saja beliau menyedotnya namun kemudian tidak menelan ludahnya. Karena tidak disebutkan dengan jelas berpindahnya ludah yang ada di lidah Aisyah ke mulut beliau. Al-Mughni (3/17).
Atas dasar itu, jika ludah pasangan seseorang tidak tertelan maka puasanya tidak batal.
Namun, di sisi lain, menyedot lidah suami atau sebaliknya termasuk ke dalam kategori unsur persetubuhan. Ciuman dan unsur-unsur persetubuhan lainnya diharamkan, jika ditakutkan akan merusak puasa dengan keluarnya mani. Jika seseorang yakin bisa menjaga diri dari keluarnya mani maka, berdasarkan pendapat yang shahih, hukum ciuman dan unsur-unsur persetubuhan lainnya adalah boleh. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah “mencium Aisyah dan beliau dalam keadaan puasa” (al-Bukhari 1927 dan Muslim 1106). Dinukil dari “Al-Mumti’” (6/433) dengan sedikit adaptasi. Namun demikian, alangkah baiknya jika ia menjaga puasanya dari hal-hal yang bisa mengurangi kesempurnaan puasa, terlebih lagi hal itu semua boleh dilakukan di setiap malam hari Ramadhan. Lihat: soal-jawab nomor 20032 dan nomor 14315.
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam
Tema-tema Terkait