Unduh
0 / 0

Keluarganya Memaksanya Untuk Menikah Shuri (Nikah Di Atas Kertas) Agar Suaminya Mendapatkan Izin Kependudukan dan Kewarganegaraan

Pertanyaan: 106719

Saya adalah seorang gadis yang berusia 23 tahun, saya tinggal di Jerman sejak 15 tahun yang lalu bersama ibu dan saudara laki-laki saya, hal ini karena ayah kami menceraikan ibu kami. Satu tahun yang lalu, ibu saya memaksa saya untuk menikah dengan seseorang yang kabarnya sangat membutuhkan bantuan, beliau pun memaksa dan mengancam dengan marah kepada saya, saudara laki-laki saya juga tidak bertanggung jawab, tidak ada pilihan bagi saya, saya baru saja menyadari kebodohan saya, bahwa ibu saya mencari-cari alasan dan dalil bahwa semua keputusannya atas dasar agama, akhirnya pernikahan pun terjadi di hadapan instansi resmi di Jerman, pernikahan shuri (dzahir saja), yaitu: untuk melancarkan usaha laki-laki tersebut –yang tidak pernah saya kenal sebelumnya- untuk mendapatkan surat nikah dengan itu ia bisa tinggal di Jerman, dan akan mendapatkan kependudukan Jerman setelah dua tahun. Setelah usaha yang cukup panjang, baru saya mendapatkan persetujuan ibu untuk mengurus tahapan perceraian, laki-laki tadi yang sudah mendapatkan tujuannya juga bersedia untuk menceraikan saya dengan suka rela, sebagaimana kesepakatan awal dengan ibu saya, pertanyaan saya adalah sebagai berikut:

Bagaimanakah saya bisa menebus dosa saya ?, apakah saya juga mempunyai masa iddah ?, ada seorang pemuda mau menikahi saya, dan saya bingung, jika saya berterus terang saya hawatir ia akan meninggalkan saya, dan jika tidak saya hawatir telah menipunya, kapan saya bisa menjadi halal baginya ? apakah setelah terjadi talak dari suami yang bathil tadi atau sebelumya ?

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Pertama:

Tidak boleh bagi seorang wali
untuk memaksa wanita yang dibawah perwaliannya untuk menikah yang ia
sebenarnya tidak mencintainya, akad yang terjadi dari seorang wanita baligh
namun bukan berasal dari keinginannya adalah bathil menurut sebagian ulama,
dan sebagian yang lain memilih tawaquf. Pada dasarnya tidak boleh memaksa
seorang yang baligh untuk menikah.

Rincian masalah ini terdapat
pada jawaban soal nomor: 47439.

Kedua:

Akad yang dilakukan di
mahkamah negara kafir bisa jadi akad tersebut adalah bathil atau bisa jadi
benar. Jika didahului oleh akad secara syar’i yang meliputi ijab qabul,
persetujuan wali, hadirnya dua orang saksi atau diumumkan, akad di depan
mahkamah itu hanya sebagai penguat dan penetapan saja, bukan untuk membangun
rumah tangga sejak awal. Namun jika tidak di dahului oleh akad secara
syar’i, maka akad tersebut tidak ada nilainya dan tidak ada hukum setelah
akad tersebut, karena sejak awal akad tersebut adalah bathil.

Ketiga:

Kebanyakan akad nikah yang
dilaksanakan di negara kafir tidak untuk menjaga kehormatan, menjaga aurat,
dan membangun rumah tangga, namun untuk tujuan mendapatkan kependudukan dan
kewarganegaraan. Yang harus diketahui bahwa pernikahan itu adalah kalimah
Allah yang merupakan janji yang kuat dan tidak boleh menganggap remeh akad
nikah tersebut bahkan tidak untuk bermain-main.

Perlu diketahui juga bahwa
akad nikah “Shuri” atau “Syakliyah” (secara dzahir saja) jika dilaksanakan
sesuai dengan syari’at, maka ada tuntutan hukum syar’i setelahnya, termasuk
mahar, masa iddah dan lain sebagainya. Namun jika tidak sesuai dengan syarat
dan hukum syar’i, maka tidak ada tuntutan hukum setelahnya, namun tetap
berdosa.

Ulama Lajnah Daimah pernah
ditanya:

“Kami adalah pemuda Islam
–alhamdulillah- dari Mesir, tetapi kami mukim di Belanda, kami bertanya
tentang hukum Islam kepada sebagian pemuda Islam yang akan menikah dengan
wanita eropa atau dengan sebagian wanita asing yang sudah mendapatkan izin
kependudukan, hal tersebut dilakukan agar dirinya juga ingin mendapatkan
izin kependudukan di Belanda, maka pernikahan yang mereka lakukan adalah
bersifat shuri (secara dzahir saja) hanya sebatas di atas kertas tidak
tinggal dalam satu rumah dan tidak menggaulinya sebagaimana layaknya suami
istri, keduanya hanya bertemu di gedung pemerintahan bersama dengan dua
saksi, setelah administrasi pernikahan selesai keduanya pun pergi
masing-masing ?

Mereka menjawab:

“Akad nikah adalah termasuk
akad yang diagungkan oleh Allah, dan dinamakan dengan “Mitsaq Ghalidan”
(ikatan yang kuat), maka tidak boleh merusak akad nikah dengan proses yang
tidak sebenarnya, hanya untuk mendapatkan izin kependudukan.

( Syeikh Abdul Aziz bin Baaz,
Syeikh Abdullah bin Ghadyan, Syeikh Shaleh al Fauzan, Syeikh Abdul Aziz Alu
Syeikh, Syeikh Bakr Abu Zaid ).

(Fatawa Lajnah Daimah:
18/98-99)

Pada jawaban soal nomor:
2886 ada fatwa yang lain yang mengharamkan, maka bisa
anda membacanya.

Nampaknya ayah anda masih
hidup, dalam keadaan seperti anda dialah yang berhak menjadi wali, meskipun
telah menceraikan ibu anda, saudara laki-laki anda tidak bisa menjadi wali
bagi anda dengan adanya ayah anda. Jika pernikahan anda disetujui oleh ayah
anda dengan dihadiri oleh saksi, anda pun setuju dengan pasangan anda, maka
akad tersebut adalah akad yang sah secara syar’i yang menuntut berlakunya
beberapa hukum setelah akad tersebut, meskipun dengan tujuan tidak untuk
tinggal bersamanya; karena realitanya adalah sebagai akad yang sesuai
syari’at dengan rukun-rukun yang sempurna, maka tidak halal bagi anda
menikah lagi dengan laki-laki lain, kecuali anda telah dicerai dan selesai
masa iddahnya.

Namun jika akad nikah hanya
dilakukan di instansi pemerintahan saja, tanpa restu dari ayah anda atau
anda pun tidak setuju, maka akad itu bukan akad yang syar’i dan tidak ada
dampak hukum setelahnya, tidak perlu menunggu diceraikan, kecuali hanya jika
dibutuhkan (pemerintah) karena anda sebagai istri di atas kertas bukan
sebagai istri yang sah, dengan tetap semua orang yang terlibat dalam
pernikahan tersebut menanggung dosanya, karena meremehkan akad syar’i dan
menjadi sarana untuk main-main.

Kesimpulan:

Menjadi kewajiban anda saat
ini sebagai tindakan prefentif sebelum menikah lagi dengan orang lain, anda
jangan maju menerima  khitbah (pinangan) baru, kecuali anda mendpat talak
dari suami pertama.

Adapun tentang memberitahukan
masalah anda kepada peminang yang baru, jika menurut perkiraan anda bahwa ia
tidak akan mengetahui masalah anda, kami tidak menganjurkan untuk
memberitahukannya kepada calon anda, dan lanjutkan pernikaan anda dengannya
dan anggap saja seakan tidak pernah terjadi apa-apa.

Namun jika menurut perkiraan
anda bahwa ia akan mengetahui nantinya, maka mendapat penjelasan langsung
dari anda lebih baik dan lebih mulia. Hati manusia di bawah kendali yang
Maha penyayang yang membolak-balikkan sesuai kehendak-Nya. Maka mintalah
pertolongan kepada Allah –ta’ala- agar mencondongkan hatinya kepada anda,
jika pernikahan anda dengannya baik bagi anda.

wallahu a’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android