Unduh
0 / 0
23,80726/02/2010

HADITS “DIDIKLAH DALAM (SETIAP) TUJUH (TAHUN)” TIDAK ADA DALAM KUTUBUSSITAH (KITAB HADITS YANG ENAM)

Pertanyaan: 145946

Seseorang menyatakan di hadapan hadirin adanya sebuah hadits bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga fase untuk pendidikan anak;

1- Dari awal kelahiran hingga usia tujuh tahun, tidak boleh bersikap keras terhadap merek atau menolak sesuatu.

2- Dari usia delapan tahun hingga usia 14 tahun, wajib bersungguh-sngguh menumbuhkan kesadaran terhadap hukum Islam dan melatih mereka.

3- Dari usia sebelas tahun hingga usia dua puluh satu tahun, wajib memperlakukan mereka sebagai teman.

Setelah dia melampaui usia 21 tahun anda dapat melepas urusan mereka dengan pertimbangan bahwa mereka telah dewasa.

Apakah terdapat hadits yang bermakna demikian? Apakah dia shahih? Apakah anda memiliki referensinya? Mohon maaf jika saya tidak mengutip haditsnya sebagaimana mestinya.

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Tampaknya yang dimaksud penanya adalah apa yang sering
disampaikan orang bahwa terdapat hadits, padahal dia bukanlah hadits,
sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Bercandalah dengan
anakmu selama tujuh tahun, didiklah selama tujuh tahun, ajarkan selama tujuh
tahun. (berikutnya), kemudian biarkan dia mandiri.”

Jika demikian yang dimaksud, maka itu bukan hadits dan tidak
terdapat dalam kitab-kitab para ulama. Akan tetapi hanyalah sekedar kutipan
yang tercatat dalam buku tentang adab yang bersumber dari ucapan Abdul Malik
bin Marwan.

Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya tentang
hal tersebut. Maka beliau menjawab, “Tidak ada dasarnya. Yang ada riwayatnya
dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah bahwa beliau bersabda,

مروا أبناءكم
بالصلاة لسبع ، واضربوهم عليها لعشر ، وفرقوا بينهم في المضاجع

“Perintahkan anak kalian untuk shalat saat mereka berusia
tujuh tahun, pukullah mereka (jika tidak melaksanakan shalat) saat mereka
berusia sepuluh tahun. Bedakan mereka di tempat tidurnya.”

(Dikutip dari ceramah Syekh yang berjudul ‘Al-Ghazwul Fikri’
(Perang Pemikiran), diambil dari link berikut:


http://audio.islamweb.net/audio/index.php?page=FullContent&audioid=113692

Di situs kami juga terdapat sejumlah
fatwa yang berbicara tentang pendidikan anak. Juga telah diposting sejumlah
kiat penting dalam masalah ini. Kami pilihkan untuk anda beberapa fatwa
berikut; 103526,
10016,
50731,
88731,
8858,
20872.

Penting diperhatikan disini, ucapan
(ثم اترك حبله على
غاربه) hendaknya dipahami
dari sudut positif, yaitu memberikan kebebasan kepada sang anak untuk
menetapkan jalan hidup mereka, baik secara social, pendidikan maupun
pekerjaan serta jangan memaksakan kepada mereka agar tidak merusak pribadi
mereka. Maknanya bukan mengabaikan anak serta tidak memberikan arahan kepada
mereka.

Syekh Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah
berkata, “Orang-orang mengira bahwa nasehat kedua orang tua merupakan dalil
bahwa kedua orang tua boleh mengatur-ngatur kebebasan anak semau hawa nafsu
mereka, dan bahwa sang anak tidak boleh bertentangan dengan pandangan kedua
orang tua beserta hawa nafsunya. Walaupun
keduanya orang terdidik, tapi keduanya tidak tahu tentang kemaslahatan umat
dan agama. Ketidaktahuan yang banyak dialami kedua orang tua inilah yang
banyak menggiring mereka untuk bersikap keras dalam mendidik anak. Mereka
mengira bahwa kedudukan kedua orang tua berarti secara otomatis menunjukkan
bahwa pandangan anak, kecerdasan dan pemahamannya di bawah kedua orang tua
serta kecerdasan dan pemahaman mereka. Sebagaimana para raja dan pemimpin
dictator selalu beranggapan bahwa mereka berada di atas seluruh rakyatnya
dari segi kecerdasan, pemahaman dan pandangan.

Jika hal ini berlangsung sekian lama di tengah umat ini, maka
umat yang mendidik anaknya berdasarkan kebebasan untuk mengatur diri sendiri
akan menjajah anak bangsa kita di luar kemampuan mereka sebelum kebodohan
seperti ini sirna.

Kita wajib memahami bahwa berbuat baik kepada kedua orang tua
yang diperintahkan dalam agama yang fitrah ini adalah dengan menampilkan
adab tertinggi terhadap keduanya dalam ucapan dan perbuatan berdasarkan
kebiasaan yang berlaku sehingga keduanya sangat menyangi kita. Begitu pula
dengan cara memberi kecukupan atas setiap kebutuhan keduanya dalam hal-hal
yang disyariatkan berdasarkan kemampuan kita. Akan tetapi hendaknya hal
tersebut tidak menjadikan kebebasan kita dan urusan pribadi kita menjadi
terbelenggu, begitu pula terhadap pekerjaan, agama dan masyarakat kita.
Apabila keduanya atau salah satunya ingin memaksakan kehendaknya dalam
setiap urusan kita, maka bukan termasuk masalah berbakti, juga bukan
termasuk berbuat baik secara syariat apabila kita meninggalkan sesuatu
karena itu apa yang kita pandang baik, baik berupa umum maupun khusus, atau
menjadikan kita melakukan sesuatu yang mengandung bahaya, baik secara umum
maupun khusus, hanya untuk memenuhi pendapatnya dan mengikuti hawa
nafsunya. 

Siapa yang melakukan safar untuk menuntut ilmu yang dia lihat
bahwa hal tersebut wajib untuk menyempurnakan dirinya atau untuk berkhidmat
kepada agama dan negaranya, atau melakukan safar untuk hal yang bermanfaat
baginya dan umatnya, namun kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya
tidak ridha karena dia tidak mengetahui nilai amal tersebut, maka tidaklah
anak tersebut dikatakan sebagai anak durhaka baika secara syariat ataupun
akal. Inilah yang hendaknya
diketahui para orang tua dan anak-anak; Berbakti dan berbuat baik tidak
boleh mengorbankan kemerdekaan dan kemandirian.

Perhatikanlah, apakah jika para ibu kaum
salaf yang mulia dan agung, jika kondisi mereka seperti kondisi para ibu
zaman sekarang ini, akankah mereka dapat menunjukkan berbagai negeri dan
melakukakan perbuatan-perbuatan besar? Tidak. Bahkan yang halus hatinya saja
di antara mereka bagaikan Tamadhir Khansa radhiallahu anha yang mendorong
keempat anaknya ikut berjihad di jalan Allah dengan ungkapan-ungkapan yang
menyingkirkan ketakutan dan menggerakkan jiwa.

Hendaknya umat masa sekarang mengambil
pelajaran dari para pendahulunya. Sayangnya hal ini tidak dijadikan
pelajaran yang mendapatkan perhatiannya. Yang dibaca justeru kondisi umat
yang derajatnya di bawahnya, baik dari sisi ilmu, kekuatan, kemuliaan dan
kapasitas. Sehingga dia mereka dirinya seperti bintang di banding mereka,
memantau dari atas langit yang tinggi dengan perintah dan larangan.

Dasarnya adalah kebebasan dan kemandirian
pribadi dalam kehendak dan amal. Kedua orang tua yang sepakat dalam mendidik
anaknya dengan memberikan kebebasan dan kemandirian akal dan pemahaman dalam
ilmu serta kebebasan kehendak dalam beramal, mereka akan mereka dapatkan
manfaat sang anak dapat mengatur sendiri urusanmereka dan memilih apa yang
mereka pandang bagi untuk dirinya dan masyarakatnya.

Sayangnya, kesenangan bapak-bapak dan
ibu-ibu kita adalah agar kita memahami dengan akal mereka, bukan dengan akal
kita, kita mencintai dan membenci dengan hati mereka bukan dengan hati kita,
kita bekerja dengan kehendak mereka, bukan dengan kehendak kita.
Maknanya adalah kita tidak boleh ada secara mandiri
dan bebas dalam urusan pribadi kita.
Apakah pendidikan otoriter seperti ini akan melahirkan umat
yang mulia, adil, mandiri dalam amalnya, politik dan pemerintahannya.
Jangan-jangan rumah tangga merupakan penyebab lahirnya rangkaian
kediktatoran yang menimpa para raja dan penguasa zalim, sehingga akhirnya
mereka merasakan sendiri akibat dari pendidikan tersebut

Hendaklah kalian para ulama agama dan
etika untuk menjelaskan kepada umat kalian di sekolah-sekolah dan
forum-forum yang membicarakan tentang kewajiban orang tua terhadap anak dan
kewajiban anak terhadap orang tua, dan kewajiban umat terhadap kedua
kelompok ini. Jangan kalian melupakan dua asas
ini; Kemerdekaan dan kemandirian. Keduanya merupakan asas bagi tegakknya
bangunan Islam. Para ulama di negeri-negeri utara yang kini berhasil
menguasai kita mengaku bahwa mereka telah mengambil dua keistimewaan ini
–mandiri dalam berpikir dan bertindak-  dari kita, lalu mereka membangun
masyarakat mereka di atas pondasi keduanya. Benarlah orang yang berkata,
“Bercandalah kepada anakmu selama tujuh (tahun pertama), didiklah selama
tujuh (tahun pertama), jadikan sebagai sahabat selama tujuh tahun
(berikutnya), kemudian biarkan dia mandiri.”

(Tafsir Al-Manar, 5/72-75)

Wallahu a’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android