Seseorang menyatakan di hadapan hadirin adanya sebuah hadits bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga fase untuk pendidikan anak;
1- Dari awal kelahiran hingga usia tujuh tahun, tidak boleh bersikap keras terhadap merek atau menolak sesuatu.
2- Dari usia delapan tahun hingga usia 14 tahun, wajib bersungguh-sngguh menumbuhkan kesadaran terhadap hukum Islam dan melatih mereka.
3- Dari usia sebelas tahun hingga usia dua puluh satu tahun, wajib memperlakukan mereka sebagai teman.
Setelah dia melampaui usia 21 tahun anda dapat melepas urusan mereka dengan pertimbangan bahwa mereka telah dewasa.
Apakah terdapat hadits yang bermakna demikian? Apakah dia shahih? Apakah anda memiliki referensinya? Mohon maaf jika saya tidak mengutip haditsnya sebagaimana mestinya.
HADITS “DIDIKLAH DALAM (SETIAP) TUJUH (TAHUN)” TIDAK ADA DALAM KUTUBUSSITAH (KITAB HADITS YANG ENAM)
Pertanyaan: 145946
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Tampaknya yang dimaksud penanya adalah apa yang sering disampaikan orang bahwa terdapat hadits, padahal dia bukanlah hadits, sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Bercandalah dengan anakmu selama tujuh tahun, didiklah selama tujuh tahun, ajarkan selama tujuh tahun. (berikutnya), kemudian biarkan dia mandiri.”
Jika demikian yang dimaksud, maka itu bukan hadits dan tidak terdapat dalam kitab-kitab para ulama. Akan tetapi hanyalah sekedar kutipan yang tercatat dalam buku tentang adab yang bersumber dari ucapan Abdul Malik bin Marwan.
Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya tentang hal tersebut. Maka beliau menjawab, “Tidak ada dasarnya. Yang ada riwayatnya dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah bahwa beliau bersabda,
مروا أبناءكم بالصلاة لسبع ، واضربوهم عليها لعشر ، وفرقوا بينهم في المضاجع
“Perintahkan anak kalian untuk shalat saat mereka berusia tujuh tahun, pukullah mereka (jika tidak melaksanakan shalat) saat mereka berusia sepuluh tahun. Bedakan mereka di tempat tidurnya.”
(Dikutip dari ceramah Syekh yang berjudul ‘Al-Ghazwul Fikri’ (Perang Pemikiran), diambil dari link berikut:
http://audio.islamweb.net/audio/index.php?page=FullContent&audioid=113692
Di situs kami juga terdapat sejumlah fatwa yang berbicara tentang pendidikan anak. Juga telah diposting sejumlah kiat penting dalam masalah ini. Kami pilihkan untuk anda beberapa fatwa berikut; 103526, 10016, 50731, 88731, 8858, 20872.
Penting diperhatikan disini, ucapan (ثم اترك حبله على غاربه) hendaknya dipahami dari sudut positif, yaitu memberikan kebebasan kepada sang anak untuk menetapkan jalan hidup mereka, baik secara social, pendidikan maupun pekerjaan serta jangan memaksakan kepada mereka agar tidak merusak pribadi mereka. Maknanya bukan mengabaikan anak serta tidak memberikan arahan kepada mereka.
Syekh Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah berkata, “Orang-orang mengira bahwa nasehat kedua orang tua merupakan dalil bahwa kedua orang tua boleh mengatur-ngatur kebebasan anak semau hawa nafsu mereka, dan bahwa sang anak tidak boleh bertentangan dengan pandangan kedua orang tua beserta hawa nafsunya. Walaupun keduanya orang terdidik, tapi keduanya tidak tahu tentang kemaslahatan umat dan agama. Ketidaktahuan yang banyak dialami kedua orang tua inilah yang banyak menggiring mereka untuk bersikap keras dalam mendidik anak. Mereka mengira bahwa kedudukan kedua orang tua berarti secara otomatis menunjukkan bahwa pandangan anak, kecerdasan dan pemahamannya di bawah kedua orang tua serta kecerdasan dan pemahaman mereka. Sebagaimana para raja dan pemimpin dictator selalu beranggapan bahwa mereka berada di atas seluruh rakyatnya dari segi kecerdasan, pemahaman dan pandangan.
Jika hal ini berlangsung sekian lama di tengah umat ini, maka umat yang mendidik anaknya berdasarkan kebebasan untuk mengatur diri sendiri akan menjajah anak bangsa kita di luar kemampuan mereka sebelum kebodohan seperti ini sirna.
Kita wajib memahami bahwa berbuat baik kepada kedua orang tua yang diperintahkan dalam agama yang fitrah ini adalah dengan menampilkan adab tertinggi terhadap keduanya dalam ucapan dan perbuatan berdasarkan kebiasaan yang berlaku sehingga keduanya sangat menyangi kita. Begitu pula dengan cara memberi kecukupan atas setiap kebutuhan keduanya dalam hal-hal yang disyariatkan berdasarkan kemampuan kita. Akan tetapi hendaknya hal tersebut tidak menjadikan kebebasan kita dan urusan pribadi kita menjadi terbelenggu, begitu pula terhadap pekerjaan, agama dan masyarakat kita. Apabila keduanya atau salah satunya ingin memaksakan kehendaknya dalam setiap urusan kita, maka bukan termasuk masalah berbakti, juga bukan termasuk berbuat baik secara syariat apabila kita meninggalkan sesuatu karena itu apa yang kita pandang baik, baik berupa umum maupun khusus, atau menjadikan kita melakukan sesuatu yang mengandung bahaya, baik secara umum maupun khusus, hanya untuk memenuhi pendapatnya dan mengikuti hawa nafsunya.
Siapa yang melakukan safar untuk menuntut ilmu yang dia lihat bahwa hal tersebut wajib untuk menyempurnakan dirinya atau untuk berkhidmat kepada agama dan negaranya, atau melakukan safar untuk hal yang bermanfaat baginya dan umatnya, namun kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya tidak ridha karena dia tidak mengetahui nilai amal tersebut, maka tidaklah anak tersebut dikatakan sebagai anak durhaka baika secara syariat ataupun akal. Inilah yang hendaknya diketahui para orang tua dan anak-anak; Berbakti dan berbuat baik tidak boleh mengorbankan kemerdekaan dan kemandirian.
Perhatikanlah, apakah jika para ibu kaum salaf yang mulia dan agung, jika kondisi mereka seperti kondisi para ibu zaman sekarang ini, akankah mereka dapat menunjukkan berbagai negeri dan melakukakan perbuatan-perbuatan besar? Tidak. Bahkan yang halus hatinya saja di antara mereka bagaikan Tamadhir Khansa radhiallahu anha yang mendorong keempat anaknya ikut berjihad di jalan Allah dengan ungkapan-ungkapan yang menyingkirkan ketakutan dan menggerakkan jiwa.
Hendaknya umat masa sekarang mengambil pelajaran dari para pendahulunya. Sayangnya hal ini tidak dijadikan pelajaran yang mendapatkan perhatiannya. Yang dibaca justeru kondisi umat yang derajatnya di bawahnya, baik dari sisi ilmu, kekuatan, kemuliaan dan kapasitas. Sehingga dia mereka dirinya seperti bintang di banding mereka, memantau dari atas langit yang tinggi dengan perintah dan larangan.
Dasarnya adalah kebebasan dan kemandirian pribadi dalam kehendak dan amal. Kedua orang tua yang sepakat dalam mendidik anaknya dengan memberikan kebebasan dan kemandirian akal dan pemahaman dalam ilmu serta kebebasan kehendak dalam beramal, mereka akan mereka dapatkan manfaat sang anak dapat mengatur sendiri urusanmereka dan memilih apa yang mereka pandang bagi untuk dirinya dan masyarakatnya.
Sayangnya, kesenangan bapak-bapak dan ibu-ibu kita adalah agar kita memahami dengan akal mereka, bukan dengan akal kita, kita mencintai dan membenci dengan hati mereka bukan dengan hati kita, kita bekerja dengan kehendak mereka, bukan dengan kehendak kita. Maknanya adalah kita tidak boleh ada secara mandiri dan bebas dalam urusan pribadi kita. Apakah pendidikan otoriter seperti ini akan melahirkan umat yang mulia, adil, mandiri dalam amalnya, politik dan pemerintahannya. Jangan-jangan rumah tangga merupakan penyebab lahirnya rangkaian kediktatoran yang menimpa para raja dan penguasa zalim, sehingga akhirnya mereka merasakan sendiri akibat dari pendidikan tersebut
Hendaklah kalian para ulama agama dan etika untuk menjelaskan kepada umat kalian di sekolah-sekolah dan forum-forum yang membicarakan tentang kewajiban orang tua terhadap anak dan kewajiban anak terhadap orang tua, dan kewajiban umat terhadap kedua kelompok ini. Jangan kalian melupakan dua asas ini; Kemerdekaan dan kemandirian. Keduanya merupakan asas bagi tegakknya bangunan Islam. Para ulama di negeri-negeri utara yang kini berhasil menguasai kita mengaku bahwa mereka telah mengambil dua keistimewaan ini –mandiri dalam berpikir dan bertindak- dari kita, lalu mereka membangun masyarakat mereka di atas pondasi keduanya. Benarlah orang yang berkata, “Bercandalah kepada anakmu selama tujuh (tahun pertama), didiklah selama tujuh (tahun pertama), jadikan sebagai sahabat selama tujuh tahun (berikutnya), kemudian biarkan dia mandiri.”
(Tafsir Al-Manar, 5/72-75)
Wallahu a’lam.
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam
Tema-tema Terkait