Unduh
0 / 0
917206/10/2007

Apakah Suami Diperkenankan Melarang Istrinya Melakukan I’tikaf?

Pertanyaan: 48956

Apakah termasuk hak suami, melarang istrinya melakukan I’tikaf?

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Seorang istri
tidak diperkenankan beri’tikaf kecuali dengan seizin suaminya. Karena
I’tikaf dia di masjid dapat menghilangkan hak suami. Kalau suami
mengizinkan, dia boleh menarik kembali izinnya dan juga dibolehkan
mengeluarkan dari i’tikafnya.

Ibnu Qudamah, 4/485
mengatakan, “Seorang istri tidak dibolehkan beri’tikaf kecuali dengan izin
suaminya. Kalau suaminya telah mengizinkannya, kemudian dia ingin
mengeluarkan setelah dimulai i’tikafnya, maka dia diperkenan untuk itu, jika
dalam (I’tikaf ) sunnah. Jika izinnya terkait dengan (I’tiaf) nazar, maka
dia tidak diperkenankan (mengeluarkannya) karena isterinya telah mulai
(ibadah I’tikaf), maka diharuskan menyempurnakannnya. Ini adalah pendapat
Syafi’i, seperti ibadah haji, kalau dia telah memulai ihram.”

Terdapat dalil dari sunah
yang menunjukkan dibolehkannya suami melarang istrinya untuk beri’tikaf
kecuali dengan izinnya.

Diriwayatkan oleh Bukhari,
2033 dan Muslim, 1173 dari Aisyah radhiallahu’anha berkata,

إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ دَخَلَ
مُعْتَكَفَهُ وَإِنَّهُ أَمَرَ بِخِبَائِهِ فَضُرِبَ أَرَادَ الاعْتِكَافَ فِي
الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَأَمَرَتْ زَيْنَبُ بِخِبَائِهَا
فَضُرِبَ وَأَمَرَ غَيْرُهَا مِنْ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخِبَائِهِ فَضُرِبَ فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْفَجْرَ نَظَرَ فَإِذَا الأَخْبِيَةُ
فَقَالَ آلْبِرَّ تُرِدْنَ فَأَمَرَ بِخِبَائِهِ فَقُوِّضَ وَتَرَكَ
الاعْتِكَافَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ حَتَّى اعْتَكَفَ فِي الْعَشْرِ الأَوَّلِ
مِنْ شَوَّالٍ
.

وفي رواية للبخاري : ( فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَة فَأَذِنَ
لَهَا , وَسَأَلَتْ حَفْصَة عَائِشَة أَنْ تَسْتَأْذِن لَهَا فَفَعَلَتْ

“Biasanya Rasulullah
sallallahu alaihi wa sallam ketika ingin beri’tikaf, beliau shalat fajar
kemudian masuk ke tempat I’tikafnya. Dan beliau memerintahkan untuk
(membuat) tenda dan dibuatkan. Dan ketika ingin i’tikaf di sepuluh malam
akhir Ramadan, Zainab memerintahkan untuk membuat tenda dan istri-istri
beliau sallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan untuk membuat tenda dan
dibuatkan. Ketika Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam telah shalat fajar
melihat banyak tenda, beliau bersabda, “Apakah ketaatan yang anda inginkan
semua? Kemudian beliau memerintahkan untuk membongkar tendanya dan beliau
meninggalkan i’tikaf di bulan Ramadan sampai beliau beri’tikaf di sepuluh
awal bulan Syawwal.” Dalam teks Bukhari, “Aisyah meminta izin dan beliau
diberi izin. Dan Hafshoh meminta Aisyah untuk memintakan izin baginya dan
beliau lakukan.”

An-Nawawi rahimahullah
berkata, “Perkataan ‘Kemudian beliau melihat tenda-tenda dan bertanya,
“Apakah ketaatan yang anda inginkan semua? Kemudian beliau memerintahkan
membongkar tendanya.” Kata Quwwidho maksudnya adalah membongkarnya. Al-Bir
maksudnya adalah ketaatan.

Al-Qodhi mengatakan,
“Perkataan Nabi sallallahu’alaihi wa sallam ini merupakan pengingkaran
terhadap prilaku (istri-istrinya). Dimana Nabi sallahu’alaihi wa sallam
mengizinkan sebagian di antara mereka, tapi yang mereka inginkan adalah agar
 dekat dengan dengan beliau. Sebab pengingkarannya adalah beliau khawatir
mereka tidak ikhlas dalam beri’tikaf. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Bukhari. Berkata, kecemburuhan mereka kepada Nabi atau kecemburuan Nabi
kepada mereka. Sehingga beliau tidak suka bertempat tinggal (mereka) di
masjid. Padahal di masjid tempat berkumpulnya orang, kedatangan orang badui
dan orang munafik. Sementara mereka membutuhkan untuk keluar masuk dari apa
yang akan mereka dapatkan sehingga menjadikan mereka rendah atau hina dengan
hal itu. Atau karena beliau sallallahu’alaihi wa sallam melihat
(istri-istrinya) berada di masjid dan beliau juga di masjid, seakan-akan
dalam satu rumah akan keberadaan beliau bersama istri-istrinya. Sehingga
dapat menghilangkan tujuan pokok dalam beri’tikaf. Yaitu melepaskan dari
istri dan ketergantungan dunia dan semisalnya. Atau karena mereka dapat
mempersempit masjid dengan tenda-tendanya.”

Dalam hadits ini menunjukkan
akan sahnya i’tikaf wanita. Karena Nabi sallallahu alaihi wa sallam telah
mengizinkannya. Dan mereka dilarang setelah itu karena ada alasan. Di dalam
hadits juga seorang suami diperkenankan melarang istrinya untuk beri’tikaf
tanpa seizinnya. Dan ini adalah pendapat kebanyakan ulama.  Kalau telah
mengizinkannya, apakah dia dibolehkan melarangnya setelah itu? Para ulama
berbeda pendapat tentang masalah ini. Syafi’i, Ahmad dan Daud berpendapat
dibolehkan melarangnya dan mengeluarkannya dari I’tikaf sunnah.”

Ibnu Munzir dan lainnya
mengatakan, “Dalam hadits (menunjukkan) bahwa seorang wanita tidak boleh
beri’tikaf sebelum minta izin kepada suami. Dan kalau wanita itu beri’tikaf
tanpa seizinnya, maka dia (suaminya) berhak untuk mengeluarkannya. Kalau
telah diberi izin, (suaminya) diperkenankan mencabutnya dan melarangnya.
Menurut ahli ra’yi, kalau istrinya telah diberi izin, kemudian dilarangnya.

Kemudian dia tidak mau, maka dia berdosa. Sementara dari Malik, tidak
dibolehkan (melarang) hal itu. Sementara hadits ini adalah dalil yang
melemahkan pendapatnya.” (Fathul Bari).

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android